Entri Populer

Kamis, 06 September 2012

polisi dalam pusaran konflik sosial


POLRI DALAM PUSARAN KEKERASAN (REVOLUSI) SOSIAL
DI WILAYAH PERTAMBANGAN DAN PERKEBUNAN SAWIT
(suatu pendekatan polisionil progresive)
OLEH
ANDRY WIBOWO, SIK, MH, MSI
I.             PENGANTAR
Akhir – akhir ini banyak dibahas di ruang publik kekerasan massa yang kemudian diikuti oleh kecenderungan kekerasan polisi, khususnya terjadi pada lokasi-lokasi tambang maupun perkebunan sawit di beberapa lokasi di wilayah Sumatera, Nusa Tenggara, Papua Maupun Sulawesi.
Kecenderungan kekerasan tersebut tidak terlepas dan selalui diawali oleh adanya klaim masyarakat terhadap hak atas lokasi pertambangan atau perkebunan yang telah dikuasai dan dikelola oleh Badan Usaha.
Klaim yang terjadi umumnya kemudian disalurkan melalui aksi massa ke lokasi lokasi tersebut melalui berbagai upaya Quote and Quote Dalam Bentuk Pressure Masyarakat Kepada Pemilik Lokasi Maupun Pemerintah Untuk Menyetujui apa yang diinginkan masyarakat tersebut.
Sebuah model “Gerakan Revolusi” dari masyarakat utk menuntut sesuatu yang dirasakan dalam bentuk persepsi sosial sebagai hak rakyat yang hilang yang dirampas oleh penguasa bekerjasama dengan pengusaha.
Dalam model gerakan revolusi ini tidak sedikit kemudian dilakukan dan dibumbui dengan berbagai aksi kekerasan fisik dan psikis, yaitu dengan membawa berbagai bentuk senjata tajam maupun bahan peledak bahkan dalam beberapa kasus selalu diikuti dengan tindakan pendudukan, sabotase, penjarahan, pembunuhan bahkan tidak segan segan melakukan konfrontasi dengan petugas Polri yang berada di lokasi dalam rangka kegiatan kepolisian sebagaimana diatur dalam UU No 2 Tahun 2002.
Tentunya kegiatan anarkis seperti itu selalu menimbulkan kerugian baik jiwa maupun harta benda di pihak pihak yang terlibat dalam sengketa penyelesaian hukum model “Gerakan Revolusi “ tersebut.
Bagi Polri sendiri Kondisi seperti ini amat merugikan bagi kredibilitas insititusi ini dalam persepsi publik. Karena Pada kenyataannya Pihak Polri selalu didiskriditkan oleh Para Pemerhati sosial Dan HAM dalam isu-isu tentang HAM.
Sebaliknya peristiwa peristiwa ini selalu dijadikan momentun bagi pemerhati sosial dan HAM untuk seolah olah membela kepentingan rakyat dengan berbagai argumentasi yang tidak sedikit bernilai agitasi dan penyesatan terhadap makna daulat rakyat dalam negara hukum.
II.           APA YANG DILAKUKAN POLRI
Fenomena Gerakan Revolusi Model Petani Sawit, Pengelola Tambang Rakyat Juga Terjadi Pada Ranah Lainnya Seperti Juga Gerakan Buruh. Selain gerakan rakyat di wilayah akar rumput (grass root) , gerakan model revolusi sosial ini dapat diindikasikan juga melibatkan kelompok kepentingan yang tidak tersentuh (Invisible Interest) yang meliputi mereka yang tergabung dalam berbagai profesi, kepentingan, bahkan lintas kewarganegaraan yang memanfaatkan momentum transformasi (mencari pola) sosial dan politik di Indonesia Pasca Reformasi 1998. Apakah gerakan – gerakan ini menandai kebenaran hypotesa hutington dalam thesisnya tentang the class of civilization pada abad ini.
Jika hal ini benar, maka tentunya Polri yang saat ini merupakan bagian dari system demokrasi yang sedang tumbuh dan berkembang di ranah politik maupun sosial menghadapi suatu tantangan situasi sosial yang memerlukan suatu kebijakan polisionil yang cermat untuk dapat bertindak cepat, tidak permisive tetapi juga tidak terkesan brutal serta solutif dalam menangani gerakan gerakan model revolusi yang umumnya terjadi di wilayah wilayah pedesaan yang jauh dari ibu kota negara dan jauh dari kapasitas ideal Polri.
Penataan Kebijakan dan Pola Operasional Penanganan masalah kekerasan sosial ini  perlu menjadi perhatian khusus bagi Polri seperti halnya ketika Polri dihadapkan pada masalah terorisme di awal awal dekade abad ini.
Beberapa catatan lapangan yang penulis dapat amati (Learning By Process) beberapa pemikiran penulis dalam memberikan sumbangsih saran penataan dan peningkatan kualitas operasional Polri dalam penanganan atas fenomena yang sedang dihadapi :
A.   Penataan Kembali Operasi Intelijen Polri
Peningkatan kapasitas dan kemampuan intelijen Polri di semua lini dalam menangkap gejala gejala sosial yang terjadi di wilayah wilayah potensi konflik pertambangan dan perkebunan sawit menjadi salah satu pola operasi dan kegiatan kepolisian yang penting.
Kegiatan dan operasi intelijen tersebut meliputi :
1.    Kapasitas untuk mampu mendapatkan informasi yang aktual tentang situasi sosial masyarakat di sekitar wilayah tambang atau perkebunan sawit.
2.    Kapasitas menganalisa informasi yang kemudian memetakan persoalan yang berkembang.
3.    Kapasitas penangkalan (penggalangan) terhadap isu isu yang menyesatkan yyang dapat memicu gerakan masyarakat yang dapat menggangu kamtibmas di wilayah pertambang/perkebunan sawit.
B.    Penataan Kembali Manajemen Response
Sensitivitas Persoalan di Lokasi Tambang/Perkebunan Sawit memerlukan suatu kepedulian penanganan sejak masalah tersebut pada tataran informasi atau isu.
Manajemen Response dimaksud dalam hal ini adalah bagaimana Para Kapolsek, Kapolres maupun Kapolda mampu mengintegrasikan dan mengelola sumberdaya internal dan eksternal untuk sejak awal (pro aktif) menangani informasi atau isu sosial yang berkembang  di wilayah pertambangan/perkebunan.





Dalam hal ini para kapolsek/kapolres/kapolda berperan sebagai dinamisator bagi mitra sektoral lainnya untuk mencari solusi yang beradab dimana secara cerdas dan tepat dapat mengkombinasikan  pola penyelesaian masalah dalam kerangka pendekatan criminal justice, restrorative justice maupun civil justice.

C.   Penataan Tactical Response
Persoalan yang mungkin timbul dan tidak dapat dicegah pada akhirnya harus dihadapi oleh kekuatan kepolisian dan perkuatannya  yang dioperasionalkan pada lokasi lokasi krisis.
Dalam hal ini penataan tactical response adalah berhubungan dengan siasat penanganan operasional di lapangan yang harus dihadapi oleh umumnya satuan satuan polisi berseragam baik sabhara maupun brimob.
Penataan tactical response tentunya amat penting mengingat krisis dan benturan kekerasan di lapangan antara petugas polri dan masyarakat sering kali tidak terhindarkan terjadi.
Benturan yang terkadang menimbulkan korban dari kedua belah pihak, pada kenyataannya sering mengalihkan persoalan awal yaitu sengketa lokasi lahan pertambangan/perkebunan sawit menjadi masalah polisi.
Penataan tactical response meliputi :
1.    misi kehadiran polisi di lokasi antara misi sebagai pelindung,pelayan,pengayom masyarakat atau penegakkan hukum.
2.    pola penanganan yang akan dioperasionalkan antara pengoptimalan soft power s/d ultimum force.
3.    sistem perlengkapan dan peralatan kepolisian yang digunakan,
4.    Kapasitas komandan lapangan dalam merespons perubahan situasi lapangan.
5.    Kapasitas polri dalam mendokumentasikan dinamika situasi di lapangan.

III.         PENUTUP
Persoalan harkat hidup orang banyak merupakan persoalan sensitif dan azasi yang selalu terjadi dan akan dihadapi oleh Polri. Salah satu persoalan tersebut yang saat ini menjadi fenomena sosial adalah gerakan massa dengan model revolusi bersifat lokal dalam rangka menuntut hak hak hidupnya.
Sebuah model “Gerakan Revolusi” dari masyarakat utk menuntut sesuatu yang dirasakan dalam bentuk persepsi sosial sebagai hak rakyat yang hilang yang dirampas oleh penguasa bekerjasama dengan pengusaha.
Kedudukan Polri sebagaimana UU No 2 Tahun 2002 mendorong satuan satuan kepolisian hadir ditengah tengah lokasi persoalan tersebut.Kekerasan yang dilakukan kedua belah pihak dalam bentuk konfrontasi fisik sering kali tidak terhindarkan yang terkadang menimbulkan korban jiwa maupun fasilitas dan harta benda milik masyarakat, polri, pemerintah maupun perusahaan.
Dalam banyak kasus kondisi ini tidak menguntungkan bagi kredibilitas Polri, hal ini disebabkan karena bergulirnya isu kekerasan polri terhadap masyarakat yang sedang memperjuangkan hak hak hidupnya yang selalu diusung oleh para penggiat masyarakat sipil  melalui berbagai forum publik sedangkan masalah pokok dan kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat relatif dikesampingkan oleh para penggiat demokrasi dan HAM ini.





Menghadapi fenomena ini , evaluasi terhadap peristiwa dan pola penanganan Polri selama ini dapat dijadikan refleksi untuk Polri dalam menata kembali kebijakan dan pola operasional di wilayah wilayah yang memiliki potensi konflik tambang/perkebunan sawit yang relatif tinggi.
Sehingga Polri tidak terseret pada pusaran kekerasan sosial yang merugikan eksistensi dan kedudukan polri sebagai penjaga kehidupan, penjaga peradaban sekaligus pejuang kemanusiaan.








 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar