POLRI
DALAM PUSARAN KEKERASAN (REVOLUSI) SOSIAL
DI
WILAYAH PERTAMBANGAN DAN PERKEBUNAN SAWIT
(suatu
pendekatan polisionil progresive)
OLEH
ANDRY
WIBOWO, SIK, MH, MSI
I.
PENGANTAR
Akhir
– akhir ini banyak dibahas di ruang publik kekerasan massa yang kemudian diikuti
oleh kecenderungan kekerasan polisi, khususnya terjadi pada lokasi-lokasi
tambang maupun perkebunan sawit di beberapa lokasi di wilayah Sumatera, Nusa
Tenggara, Papua Maupun Sulawesi.
Kecenderungan
kekerasan tersebut tidak terlepas dan selalui diawali oleh adanya klaim
masyarakat terhadap hak atas lokasi pertambangan atau perkebunan yang telah
dikuasai dan dikelola oleh Badan Usaha.
Klaim
yang terjadi umumnya kemudian disalurkan melalui aksi massa ke lokasi lokasi
tersebut melalui berbagai upaya Quote and Quote Dalam Bentuk Pressure
Masyarakat Kepada Pemilik Lokasi Maupun Pemerintah Untuk Menyetujui apa yang
diinginkan masyarakat tersebut.
Sebuah
model “Gerakan Revolusi” dari masyarakat utk menuntut sesuatu yang dirasakan
dalam bentuk persepsi sosial sebagai hak rakyat yang hilang yang dirampas oleh
penguasa bekerjasama dengan pengusaha.
Dalam
model gerakan revolusi ini tidak sedikit kemudian dilakukan dan dibumbui dengan
berbagai aksi kekerasan fisik dan psikis, yaitu dengan membawa berbagai bentuk senjata
tajam maupun bahan peledak bahkan dalam beberapa kasus selalu diikuti dengan
tindakan pendudukan, sabotase, penjarahan, pembunuhan bahkan tidak segan segan
melakukan konfrontasi dengan petugas Polri yang berada di lokasi dalam rangka
kegiatan kepolisian sebagaimana diatur dalam UU No 2 Tahun 2002.
Tentunya
kegiatan anarkis seperti itu selalu menimbulkan kerugian baik jiwa maupun harta
benda di pihak pihak yang terlibat dalam sengketa penyelesaian hukum model
“Gerakan Revolusi “ tersebut.
Bagi
Polri sendiri Kondisi seperti ini amat merugikan bagi kredibilitas insititusi
ini dalam persepsi publik. Karena Pada kenyataannya Pihak Polri selalu
didiskriditkan oleh Para Pemerhati sosial Dan HAM dalam isu-isu tentang HAM.
Sebaliknya
peristiwa peristiwa ini selalu dijadikan momentun bagi pemerhati sosial dan HAM
untuk seolah olah membela kepentingan rakyat dengan berbagai argumentasi yang
tidak sedikit bernilai agitasi dan penyesatan terhadap makna daulat rakyat
dalam negara hukum.
II.
APA YANG DILAKUKAN POLRI
Fenomena
Gerakan Revolusi Model Petani Sawit, Pengelola Tambang Rakyat Juga Terjadi Pada
Ranah Lainnya Seperti Juga Gerakan Buruh. Selain gerakan rakyat di wilayah akar
rumput (grass root) , gerakan model revolusi sosial ini dapat diindikasikan
juga melibatkan kelompok kepentingan yang tidak tersentuh (Invisible Interest)
yang meliputi mereka yang tergabung dalam berbagai profesi, kepentingan, bahkan
lintas kewarganegaraan yang memanfaatkan momentum transformasi (mencari pola)
sosial dan politik di Indonesia Pasca Reformasi 1998. Apakah gerakan – gerakan
ini menandai kebenaran hypotesa hutington dalam thesisnya tentang the class of
civilization pada abad ini.
Jika
hal ini benar, maka tentunya Polri yang saat ini merupakan bagian dari system
demokrasi yang sedang tumbuh dan berkembang di ranah politik maupun sosial menghadapi
suatu tantangan situasi sosial yang memerlukan suatu kebijakan polisionil yang
cermat untuk dapat bertindak cepat, tidak permisive tetapi juga tidak terkesan
brutal serta solutif dalam menangani gerakan gerakan model revolusi yang
umumnya terjadi di wilayah wilayah pedesaan yang jauh dari ibu kota negara dan
jauh dari kapasitas ideal Polri.
Penataan
Kebijakan dan Pola Operasional Penanganan masalah kekerasan sosial ini perlu menjadi perhatian khusus bagi Polri
seperti halnya ketika Polri dihadapkan pada masalah terorisme di awal awal
dekade abad ini.
Beberapa
catatan lapangan yang penulis dapat amati (Learning By Process) beberapa
pemikiran penulis dalam memberikan sumbangsih saran penataan dan peningkatan
kualitas operasional Polri dalam penanganan atas fenomena yang sedang dihadapi
:
A. Penataan
Kembali Operasi Intelijen Polri
Peningkatan
kapasitas dan kemampuan intelijen Polri di semua lini dalam menangkap gejala
gejala sosial yang terjadi di wilayah wilayah potensi konflik pertambangan dan
perkebunan sawit menjadi salah satu pola operasi dan kegiatan kepolisian yang
penting.
Kegiatan dan operasi
intelijen tersebut meliputi :
1. Kapasitas
untuk mampu mendapatkan informasi yang aktual tentang situasi sosial masyarakat
di sekitar wilayah tambang atau perkebunan sawit.
2. Kapasitas
menganalisa informasi yang kemudian memetakan persoalan yang berkembang.
3. Kapasitas
penangkalan (penggalangan) terhadap isu isu yang menyesatkan yyang dapat memicu
gerakan masyarakat yang dapat menggangu kamtibmas di wilayah
pertambang/perkebunan sawit.
B. Penataan
Kembali Manajemen Response
Sensitivitas
Persoalan di Lokasi Tambang/Perkebunan Sawit memerlukan suatu kepedulian
penanganan sejak masalah tersebut pada tataran informasi atau isu.
Manajemen
Response dimaksud dalam hal ini adalah bagaimana Para Kapolsek, Kapolres maupun
Kapolda mampu mengintegrasikan dan mengelola sumberdaya internal dan eksternal
untuk sejak awal (pro aktif) menangani informasi atau isu sosial yang berkembang di wilayah pertambangan/perkebunan.
Dalam
hal ini para kapolsek/kapolres/kapolda berperan sebagai dinamisator bagi mitra
sektoral lainnya untuk mencari solusi yang beradab dimana secara cerdas dan
tepat dapat mengkombinasikan pola
penyelesaian masalah dalam kerangka pendekatan criminal justice, restrorative justice maupun civil justice.
C. Penataan
Tactical Response
Persoalan
yang mungkin timbul dan tidak dapat dicegah pada akhirnya harus dihadapi oleh
kekuatan kepolisian dan perkuatannya yang dioperasionalkan pada lokasi lokasi
krisis.
Dalam
hal ini penataan tactical response adalah berhubungan dengan siasat penanganan
operasional di lapangan yang harus dihadapi oleh umumnya satuan satuan polisi
berseragam baik sabhara maupun brimob.
Penataan
tactical response tentunya amat penting mengingat krisis dan benturan kekerasan
di lapangan antara petugas polri dan masyarakat sering kali tidak terhindarkan
terjadi.
Benturan
yang terkadang menimbulkan korban dari kedua belah pihak, pada kenyataannya
sering mengalihkan persoalan awal yaitu sengketa lokasi lahan
pertambangan/perkebunan sawit menjadi masalah polisi.
Penataan
tactical response meliputi :
1. misi
kehadiran polisi di lokasi antara misi sebagai pelindung,pelayan,pengayom
masyarakat atau penegakkan hukum.
2. pola
penanganan yang akan dioperasionalkan antara pengoptimalan soft power s/d
ultimum force.
3. sistem
perlengkapan dan peralatan kepolisian yang digunakan,
4. Kapasitas
komandan lapangan dalam merespons perubahan situasi lapangan.
5. Kapasitas
polri dalam mendokumentasikan dinamika situasi di lapangan.
III.
PENUTUP
Persoalan
harkat hidup orang banyak merupakan persoalan sensitif dan azasi yang selalu
terjadi dan akan dihadapi oleh Polri. Salah satu persoalan tersebut yang saat
ini menjadi fenomena sosial adalah gerakan massa dengan model revolusi bersifat
lokal dalam rangka menuntut hak hak hidupnya.
Sebuah
model “Gerakan Revolusi” dari masyarakat utk menuntut sesuatu yang dirasakan
dalam bentuk persepsi sosial sebagai hak rakyat yang hilang yang dirampas oleh
penguasa bekerjasama dengan pengusaha.
Kedudukan
Polri sebagaimana UU No 2 Tahun 2002 mendorong satuan satuan kepolisian hadir
ditengah tengah lokasi persoalan tersebut.Kekerasan yang dilakukan kedua belah
pihak dalam bentuk konfrontasi fisik sering kali tidak terhindarkan yang
terkadang menimbulkan korban jiwa maupun fasilitas dan harta benda milik
masyarakat, polri, pemerintah maupun perusahaan.
Dalam
banyak kasus kondisi ini tidak menguntungkan bagi kredibilitas Polri, hal ini
disebabkan karena bergulirnya isu kekerasan polri terhadap masyarakat yang
sedang memperjuangkan hak hak hidupnya yang selalu diusung oleh para penggiat
masyarakat sipil melalui berbagai forum
publik sedangkan masalah pokok dan kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat
relatif dikesampingkan oleh para penggiat demokrasi dan HAM ini.
Menghadapi
fenomena ini , evaluasi terhadap peristiwa dan pola penanganan Polri selama ini
dapat dijadikan refleksi untuk Polri dalam menata kembali kebijakan dan pola
operasional di wilayah wilayah yang memiliki potensi konflik tambang/perkebunan
sawit yang relatif tinggi.
Sehingga
Polri tidak terseret pada pusaran kekerasan sosial yang merugikan eksistensi
dan kedudukan polri sebagai penjaga kehidupan, penjaga peradaban sekaligus
pejuang kemanusiaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar