POLISI DAN POLITIK ALIRAN DALAM MASYARAKAT
(SUATU PEMIKIRAN DALAM RANGKA MELINDUNGI KELOMPOK MINORITAS DALAM NKRI)
OLEH
AKBP ANDRY WIBOWO, SIK,MH,MSI
Suatu malam, seorang
senior menelphone kami dan mengajak kami berdiskusi tentang apa yang bisa
dilakukan oleh polisi dalam menghadapi fenomena konflik sosial yang diakibatkan
perbedaan keyakinan atau aliran. Kebetulan saat itu sedang hangat-hangatnya
dibicarakan kasus sampang yang melibatkan kelompok islam syah dan kelompok
islam suni meskipun fakta penyelidikan kepolisian konflik tersebut bukan
disebabkan oleh perbedaan keyakinan tetapi merupakan akibat dari dendam konflik
keluarga.
Tetapi kami berfikir
diskusi ini sangat menarik, diluar peristiwa sampang dimana implikasinya
bersifat “go internasional’ yang menjadi perhatian komunitas internasional,
tetapi mendiskusikan apa yang dapat dilakukan oleh polisi dengan adanya
fenomena aliran dan keyakinan sangatlah penting, hal ini dikarenakan komposisi masyarakat indonesia
yang sangat majemuk baik didasarkan kepada suku,agama, ras dan golongan rentan kepada isu-isu SARA yang
berbasis pada mayoritas-minoritas maupun politisasi aliran dan keyakinan
termasuk tentunya menarik bagi industri media massa sebagai bahan pemberitaan.
Menjawab Pertanyaan
senior kami tersebut, kami menjawabnya dengan sangat sederhana yaitu esensinya
Polisi memiliki tanggung jawab utama yaitu melindungi jiwa dan harta siapapun
mereka yang hidup di wilayah yuridiksi indonesia tanpa membedakan asal usul
keturunan, latar belakang sosial apakah suku, agama, ras maupun golongan.
Bahkan ekstremnya mereka yang telah melanggar hukumpun wajib dilindungi hak-hak
azasinya kecuali ada keputusan hukum yang bersifat tetap mengatur sebaliknya.
Demikian fundamentalnya
tugas dan peran polisi dalam hal ini dan inipun menjadi fundamentally reason
kenapa polisi dituntut untuk berada dan menempatkan dirinya secara imparsial,
nertral dan merdeka dalam mengelola kamtibmas yang esensinya adalah bagaimana
polisi mampu mengelola implikasi dari dinamika perilaku individu dan kelompok di
masyarakat yang beraneka ragam.
Maka sebuah kesalahan
yang sangat mendasar jika kalau polisi dalam melaksanakan tugas pokok, fungsi
dan perannya (Tupoksiran) mengabaikan prinsip-prinsip netralitas, imparsial dan
merdeka apalagi polisi larut pada sikap dan perilaku sektarianisme mengalahkan
sikap dan perilaku egaliterisme yang berdasarkan prinsip bhineka tunggal ika
sebagai ruh dari integrasi nasional
Tentunya konsep
netralitas, imparsial dan merdeka adalah suatu konsep yang luhur ketika polisi
dihadapkan kepada berbagai bentuk pertentangan nilai yang ada di masyarakat
yang bermuara pada berbagai bentuk ketegangan sosial sampai dengan konflik
sosial yang bermuara pada bagaimana seharusnya polisi bekerja dalam suatu
kondisi lapangan yang dinamis dan hal ini tidak mudah dilakukan oleh polisi
karena tindakan polisi diatur dan dibatasi oleh hukum dan perundang-undangan.
Meskipun sudah banyak
diatur dalam bentuk undang-undang maupun peraturan teknis lainnya tentang apa yang dapat dilakukan oleh polisi saat
menghadapi konflik sosial yang disebabkan oleh ketegangan aliran/keyakinan,
tetapi mengoperasionalkan konsep “Hukum Dan Ketertiban” dengan Kepentingan
Azasi yang ada pada kelompok-kelompok yang berbeda aliran inilah yang terkadang
menjadi titik krisis kepolisian yang tidak sedikit kesalahan kecil yang
dilakukan oleh Polisi di lapangan akan berakibat fatal tidak saja pada
masyarakat yang bertikai tetapi juga bagi penyelesaian konflik selanjutnya.
Memang perlu disadari menjalankan
undang-undang berbeda dengan membuat undang-undang, jika membuat undang-undang
itu dilakukan oleh mereka di dalam ruang-ruang yang tertib dan tenang dan
dibuat dalam suatu etika yang santun dan akademis, sebaliknya menjalankan
undang-undang adalah suatu kondisi yang sangat kompleks sifatnya baik pelaksana
undang-undang maupun masyarakat yang tidak seragam sikap maupun perilakunya.
Untuk itulah kemudian, polisi
diberikan suatu diskresi kepolisian yang mana dapat melakukan tindakan yang
perlu sesuai dengan undang-undang dalam rangka melindungi jiwa dan harta
seseorang ataupun kelompok dari ancaman anarkisme yang dilakukan baik secara
individu maupun kelompok.
Wujud dari perlindungan
ini tidak bisa diseragamkan antara kondisi satu dengan kondisi lainnya tentang
langkah yang perlu dilakukan oleh polisi tetapi esensi dari langkah tersebut
adalah mencegah secara maksimal tidak terjadinya korban jiwa maupun harta dari
kelompok-kelompok yang bertikai sebagai akibat konflik fisik terbuka di
lapangan.
Dalam hal ini polisi
wajib melindungi yang lemah dan minoritas baik secara fisik dengan menempatkan
jumlah personel polisi yang seimbang dengan ancaman maupun dengan cara evakuasi
atau langkah hukum lain yang sekiranya mampu menjaga situasi dilapangan dalam
kondisi yang tertib dan terlindunginya jiwa sebagai tujuan utama dari tugas
kepolisian.
Selanjutnya
dengan bersinergi dengan komponen lainnya sebagaimana diatur dalam UU No
7 Tahun 2012 Tentang Penanganan Konflik Sosial Polisi dapat mendorong lembaga
yang berkompeten merumuskan langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam
menyelesaikan konflik di lapangan.
Dalam kondisi damai namun
potensi perbedaan keyakinan dan aliran merupakan faktor yang dapat menyebabkan
terjadinya friksi sosial, maka polisi sesuai denga wewenang dan struktur yang
ada sampai ke tingkat desa dapat melakukan berbagai upaya polisionil mulai dari
upaya idenfikasi, analisa s/d upaya-upaya pembinaan kamtibmas yang esensinya
adalah polisi mampu menjalan fungsinya dalam memelihara kondisi yang aman dan
damai tersebut.
Polisi juga dapat
melakukan berbagai kegiatan yang bersifat intergrasi dan berwawasan kebangsaan
kepada masyarakat yang berbeda aliran dan keyakinan tersebut. Jikapun hal
tersebut tidak bisa dilakukan polisi wajib memiliki linking person di dalam
kelompok-kelompok tersebut yang mampu dioptimalkan oleh polisi sebagai wadah
komunikasi kamtibmas untuk mencegah timbulnya perbedaan keyakinan menjadi
pertentangan kelompok dalam berbagai manifestasinya yang dapat mengganggu
ketertiban umum.
Penegakkan hukum
merupakan upaya yang dapat dilakukan kepada mereka yang secara nyata telah
melakukan berbagai bentuk kekerasan fisik dan psikis sesuai dengan hukum pidana
yang berlaku,Penegakkan hukum ini juga dimaksud untuk mampu mencegah perbuatan
yang sama itu terulang, tetapi tentunya kita harus mencatat bahwa perbedaan
keyakinan adalah sesuatu yang inherrent pada sikap seseorang dan kelompok yang
terkadang justifikasi dan stigma terhadap kelompok-kelompok minoritas tidak
dapat dihilangkan begitu saja.Bahkan tidak sedikit pelaku kekerasan yang
berbasis pada keyakinan aliran menyatakan perbuatannya sebagai perintah suci
yang tidak takut terhadap hukum negara.
Untuk itulah kemudian pada fase ini jika
dilakukan maka polisi dapat mengkombinasikan penyelesaian yang oleh saya
istilahkan sebagai kegiatan penegakkan hukum “Polisionil Progresive” yang dapat
mengkombinasikan atau memilih diantara penegakkan hukum yang dilakukan melalui
criminal justice system, civil justice maupun restrorative justice yang
berdasarkan kesepakatan para pihak yang berkonflik. Sehingga penyelesaian hukum
yang dilakukan mendapatkan legitimasi dan legalitas serta mampu mendorong
kembali harmonisasi sosial yang terganggu.
Memahami fenomena ini
maka betapa kompleksnya persoalan politik aliran ini di negara yang multikulturalisme
seperti indonesia yang sedang membangun sistem demokrasinya. Polisi tentunya
memiliki tugas yang cukup berat untuk menjadi bagian dari pemerintah mengelola
perbedaan yang ada khususnya dalam menghadapi ancaman kelompok mayoritas kepada
minoritas dalam spektrum penegakkan Hak Azasi Manusia dalam sebuah negara yang
multikulturalisme yang sedang membangun sistem demokrasinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar