Entri Populer

Kamis, 06 September 2012

Polisi dan Politik Aliran


POLISI DAN POLITIK ALIRAN DALAM MASYARAKAT
(SUATU PEMIKIRAN DALAM RANGKA MELINDUNGI KELOMPOK MINORITAS DALAM NKRI)
OLEH
AKBP ANDRY WIBOWO, SIK,MH,MSI
Suatu malam, seorang senior menelphone kami dan mengajak kami berdiskusi tentang apa yang bisa dilakukan oleh polisi dalam menghadapi fenomena konflik sosial yang diakibatkan perbedaan keyakinan atau aliran. Kebetulan saat itu sedang hangat-hangatnya dibicarakan kasus sampang yang melibatkan kelompok islam syah dan kelompok islam suni meskipun fakta penyelidikan kepolisian konflik tersebut bukan disebabkan oleh perbedaan keyakinan tetapi merupakan akibat dari dendam konflik keluarga.
Tetapi kami berfikir diskusi ini sangat menarik, diluar peristiwa sampang dimana implikasinya bersifat “go internasional’ yang menjadi perhatian komunitas internasional, tetapi mendiskusikan apa yang dapat dilakukan oleh polisi dengan adanya fenomena aliran dan keyakinan sangatlah penting, hal ini  dikarenakan komposisi masyarakat indonesia yang sangat majemuk baik didasarkan kepada suku,agama, ras dan  golongan rentan kepada isu-isu SARA yang berbasis pada mayoritas-minoritas maupun politisasi aliran dan keyakinan termasuk tentunya menarik bagi industri media massa sebagai bahan pemberitaan.
Menjawab Pertanyaan senior kami tersebut, kami menjawabnya dengan sangat sederhana yaitu esensinya Polisi memiliki tanggung jawab utama yaitu melindungi jiwa dan harta siapapun mereka yang hidup di wilayah yuridiksi indonesia tanpa membedakan asal usul keturunan, latar belakang sosial apakah suku, agama, ras maupun golongan. Bahkan ekstremnya mereka yang telah melanggar hukumpun wajib dilindungi hak-hak azasinya kecuali ada keputusan hukum yang bersifat tetap mengatur sebaliknya.
Demikian fundamentalnya tugas dan peran polisi dalam hal ini dan inipun menjadi fundamentally reason kenapa polisi dituntut untuk berada dan menempatkan dirinya secara imparsial, nertral dan merdeka dalam mengelola kamtibmas yang esensinya adalah bagaimana polisi mampu mengelola implikasi dari  dinamika perilaku individu dan kelompok di masyarakat yang beraneka ragam.
Maka sebuah kesalahan yang sangat mendasar jika kalau polisi dalam melaksanakan tugas pokok, fungsi dan perannya (Tupoksiran) mengabaikan prinsip-prinsip netralitas, imparsial dan merdeka apalagi polisi larut pada sikap dan perilaku sektarianisme mengalahkan sikap dan perilaku egaliterisme yang berdasarkan prinsip bhineka tunggal ika sebagai ruh dari integrasi nasional
Tentunya konsep netralitas, imparsial dan merdeka adalah suatu konsep yang luhur ketika polisi dihadapkan kepada berbagai bentuk pertentangan nilai yang ada di masyarakat yang bermuara pada berbagai bentuk ketegangan sosial sampai dengan konflik sosial yang bermuara pada bagaimana seharusnya polisi bekerja dalam suatu kondisi lapangan yang dinamis dan hal ini tidak mudah dilakukan oleh polisi karena tindakan polisi diatur dan dibatasi oleh hukum dan perundang-undangan.
Meskipun sudah banyak diatur dalam bentuk undang-undang maupun peraturan teknis lainnya tentang  apa yang dapat dilakukan oleh polisi saat menghadapi konflik sosial yang disebabkan oleh ketegangan aliran/keyakinan, tetapi mengoperasionalkan konsep “Hukum Dan Ketertiban” dengan Kepentingan Azasi yang ada pada  kelompok-kelompok  yang berbeda aliran inilah yang terkadang menjadi titik krisis kepolisian yang tidak sedikit kesalahan kecil yang dilakukan oleh Polisi di lapangan akan berakibat fatal tidak saja pada masyarakat yang bertikai tetapi juga bagi penyelesaian konflik selanjutnya.
Memang perlu disadari menjalankan undang-undang berbeda dengan membuat undang-undang, jika membuat undang-undang itu dilakukan oleh mereka di dalam ruang-ruang yang tertib dan tenang dan dibuat dalam suatu etika yang santun dan akademis, sebaliknya menjalankan undang-undang adalah suatu kondisi yang sangat kompleks sifatnya baik pelaksana undang-undang maupun masyarakat yang tidak seragam sikap maupun perilakunya.
Untuk itulah kemudian, polisi diberikan suatu diskresi kepolisian yang mana dapat melakukan tindakan yang perlu sesuai dengan undang-undang dalam rangka melindungi jiwa dan harta seseorang ataupun kelompok dari ancaman anarkisme yang dilakukan baik secara individu maupun kelompok.
Wujud dari perlindungan ini tidak bisa diseragamkan antara kondisi satu dengan kondisi lainnya tentang langkah yang perlu dilakukan oleh polisi tetapi esensi dari langkah tersebut adalah mencegah secara maksimal tidak terjadinya korban jiwa maupun harta dari kelompok-kelompok yang bertikai sebagai akibat konflik fisik terbuka di lapangan.
Dalam hal ini polisi wajib melindungi yang lemah dan minoritas baik secara fisik dengan menempatkan jumlah personel polisi yang seimbang dengan ancaman maupun dengan cara evakuasi atau langkah hukum lain yang sekiranya mampu menjaga situasi dilapangan dalam kondisi yang tertib dan terlindunginya jiwa sebagai tujuan utama dari tugas kepolisian.
 Selanjutnya  dengan bersinergi dengan komponen lainnya sebagaimana diatur dalam UU No 7 Tahun 2012 Tentang Penanganan Konflik Sosial Polisi dapat mendorong lembaga yang berkompeten merumuskan langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam menyelesaikan konflik di lapangan.
Dalam kondisi damai namun potensi perbedaan keyakinan dan aliran merupakan faktor yang dapat menyebabkan terjadinya friksi sosial, maka polisi sesuai denga wewenang dan struktur yang ada sampai ke tingkat desa dapat melakukan berbagai upaya polisionil mulai dari upaya idenfikasi, analisa s/d upaya-upaya pembinaan kamtibmas yang esensinya adalah polisi mampu menjalan fungsinya dalam memelihara kondisi yang aman dan damai tersebut.
Polisi juga dapat melakukan berbagai kegiatan yang bersifat intergrasi dan berwawasan kebangsaan kepada masyarakat yang berbeda aliran dan keyakinan tersebut. Jikapun hal tersebut tidak bisa dilakukan polisi wajib memiliki linking person di dalam kelompok-kelompok tersebut yang mampu dioptimalkan oleh polisi sebagai wadah komunikasi kamtibmas untuk mencegah timbulnya perbedaan keyakinan menjadi pertentangan kelompok dalam berbagai manifestasinya yang dapat mengganggu ketertiban umum.


Penegakkan hukum merupakan upaya yang dapat dilakukan kepada mereka yang secara nyata telah melakukan berbagai bentuk kekerasan fisik dan psikis sesuai dengan hukum pidana yang berlaku,Penegakkan hukum ini juga dimaksud untuk mampu mencegah perbuatan yang sama itu terulang, tetapi tentunya kita harus mencatat bahwa perbedaan keyakinan adalah sesuatu yang inherrent pada sikap seseorang dan kelompok yang terkadang justifikasi dan stigma terhadap kelompok-kelompok minoritas tidak dapat dihilangkan begitu saja.Bahkan tidak sedikit pelaku kekerasan yang berbasis pada keyakinan aliran menyatakan perbuatannya sebagai perintah suci yang tidak takut terhadap hukum negara.
 Untuk itulah kemudian pada fase ini jika dilakukan maka polisi dapat mengkombinasikan penyelesaian yang oleh saya istilahkan sebagai kegiatan penegakkan hukum “Polisionil Progresive” yang dapat mengkombinasikan atau memilih diantara penegakkan hukum yang dilakukan melalui criminal justice system, civil justice maupun restrorative justice yang berdasarkan kesepakatan para pihak yang berkonflik. Sehingga penyelesaian hukum yang dilakukan mendapatkan legitimasi dan legalitas serta mampu mendorong kembali harmonisasi sosial yang terganggu.
Memahami fenomena ini maka betapa kompleksnya persoalan politik aliran ini di negara yang multikulturalisme seperti indonesia yang sedang membangun sistem demokrasinya. Polisi tentunya memiliki tugas yang cukup berat untuk menjadi bagian dari pemerintah mengelola perbedaan yang ada khususnya dalam menghadapi ancaman kelompok mayoritas kepada minoritas dalam spektrum penegakkan Hak Azasi Manusia dalam sebuah negara yang multikulturalisme yang sedang membangun sistem demokrasinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar