Pola-pola Kejahatan dan Model-model Pemolisian
OLEH
AKBP
ANDRY WIBOWO, SIK, MH, MSI
A.
Latar Belakang
Fight
The Crime adalah salah satu motto kepolisian yang bersifat universal tidak
terkecuali bagi kepolisian di Indonesia. Sebagai bayang-bayang dalam kehidupan
masyarakat kejahatan pada kenyataannya merupakan bagian dari patologi sosial
yang lahir dari bermacam sebab.
Sebab-sebab tersebut kemudian mendorong para
ahli di bidang ilmu sosial untuk mempelajari sebab-sebab lahirmya kejahatan
yang melahirkan teori-teori terjadinya kejahatan ( Crime Pattern Theory).
Tentunya
kejahatan-kejahatan tersebut tidak dapat dibiarkan berkembang, sehingga dalam
rangka menanggulangi perkembangan kejahatan lahirlah teori-teori penanggulangan
kejahatan.
Salah
satu teori tersebut berkembang pada ilmu kepolisian yang kemudian mendorong berbagai
teori pemolisian yang merupakan landasan konseptual untuk mengembangkan
berbagai strategi bagi kepolisian untuk menanggulangi kejahatan.
Jika
dalam dunia militer kita mengenal berbagai strategi dalam berperang maka
merupakan kewajiban bagi setiap anggota kepolisian untuk mampu menguasai
berbagai teori lahirnya kejahatan dalam memahami tantangan persoalan yang
dihadapi dan teori pemolisian dalam
rangka berstrategi untuk menanggulanginya.
B.
Teori terjadinya
kejahatan (Crime Pattern Theory) :
Dalam
konsep dasar yang dikenal selama ini, kita telah mengenal suatu konsep dasar
tentang terjadinya suatu kejahatan yaitu bertemunya Niat dan Kesempatan
(KJ=N+K). Teori dasar ini demikian popular sehingga masyarakatpun memahami
teori ini.
Untuk
melengkapi teori-teori tersebut dan untuk kepentingan pemahaman bagaimana suatu
kejahatan dapat terjadi kepada setiap orang maka di bawah ini beberapa teori
dasar tentang bagaimana pelaku kejahatan memanfaat setiap situasi yang
memungkinkan pelaku melakukan kejahatan :
- Hot Spot Policing : Pemolisian dengan model “Hot Spot Policing” merupakan model pemolisian yang lahir dari pemikiran kenapa kejahatan terjadi di tempat tertentu dan tidak di tempat lain.model pemolisian seperti ini lahir sejalan dengan perkembangan kriminologi pada tahun 1980-an yang dikembangkan oleh Paul Dan Patricia Bratingham. Model ini dititik beratkan pada prinsip-prinsip geografis yang dipandang dari ilmu kriminologi.Dalam pemolisian model ini membutuhkan kemampuan polisi untuk memetakan dan menganalisanya atau dikenal dengan Mapping and Analysis For Public Safety (MAPS).
- Routine Activity Theory : Konsep terjadinya kejahatan berdasarkan “Routine Activity Theory” didasarkan pada suatu respons atas konsep kejahatan yang menyatakan bahwa kejahatan terjadi karena adanya pelaku kejahatan yang bertemu dengan target yang diinginkan serta tidak adanya kekuatan pengamanan pada waktu yang bersamaan. Pelaku kejahatan memilih dan menemukan target mereka mengikuti kegiatan rutin korbannya, seperti melakukan perjalanan dari rumah ke kantor, berbelanja, dsb. Sehingga pelaku kejahatan akan melakukan kejahatannya terhadap sasaran yang diinginkan dengan mengikuti pola kegiatan rutin sasarannya.
- Situational Crime Prevention Theory : Teori ini memberikan rekomendasi kepada polisi atau otoritas yang berwenang dalam penanggulangan kejahatan bahwa kejahatan dan ketidak tertiban umum dapat dicegah dengan mengurangi kesempatan terjadinya kejahatan. Misalnya kejahatan sering terjadi di lorong atau jalan gelap, maka otoritas publik dapat melakukan pencegahan dengan memberikan penerangan pada lorong atau jalan gelap tadi dengan suatu lampu penerangan serta meningkatkan kehadiran polisi di lorong atau jalan tersebut.
- Broken Windows Theory :Teori ini memberikan gambaran kepada kita bahwa kejahatan besar lahir diawali dengan berbagai bentuk pelanggaran ringan di masyarakat yang tidak segera diperbaiki oleh polisi atau otoritas publik lainnya.
- Crime Oppurtunity Theory : Teori ini memberikan gambaran kepada kita bahwa suatu kejahatan dapat terjadi manakala pelaku kejahatan melihat adanya peluang atau kesempatan bagi mereka untuk melakukan suatu kejahatan, misal seseorang memarkirkan kendaraan bukan di tempat yang ditentukan, maka hal ini akan mengundang pelaku kejahatan untuk melakukan pencurian kendaraan bermotor.
- Social Disorganization Theory :Dalam konsep ini kejahatan dapat terjadi manakala tidak terjadi suatu relasi warga yang baik seperti tidak adanya suatu kehidupan kolektif di suatu komunitas atau kehidupan yang individualis yang menyebabkan antar warga tidak saling peduli termasuk kepedulian terhadap situasi lingkungannya.
C.
Model-model
Pemolisian
Model-model
pemolisianpun terus berkembang sejalan dengan tuntutan situasional yang terus
berkembang kepada kepolisian di manapun di dunia untuk mampu mengendalikan
kejahatan, menjaga ketertiban umum serta memberikan pelayanan kepolisian yang
terbaik. Kesemuanya dilakukan dalam rangka terpeliharanya suatu situasi
keamanan dan ketertiban masyarakat.
Beberapa
model pemolisian dibawah ini merupakan model-model yang dikembangkan oleh
kepolisian-kepolisian di dunia.
1.
Community
Oriented Policing: COP mulai dikenal dan diterima dalam praktek pemolisian
sekitar tahun 1980-an sebagai alternative dari model-model pemolisian
tradisioonal yang telah berlangsung kurang lebih 150 tahun sejak kepolisian
modern diperkenalkan oleh sir robert peel.
Ketika
kepolisian tradisional memprioritaskan kepada kontrol terhadap kejahatan dan
pemeliharaan ketertiban, 2(dua) dari 3 (tiga) fungsi utama kepolisian, maka COP
mencoba mengembangkan fungsi utama ke 3 (tiga) dari kepolisian yaitu pada
pelayanan kepolisian dan kegiatan kepolisian pada upaya pencegahan kejahatan.
Dalam
model ini maka dituntut redefinisi hubungan polisi dengan komunitas, dimana
komunitas merupakan Co-Producers dari perumusan program-program keamanan dan
ketertiban masyarakat (Skolnick and Bayley ; 1988).
Ada
beberapa elemen penting dalam pelaksanaan program Community-Oriented Policing
ini yaitu :
a.
Pemberdayaan
komuniti;
b.
Kepercayaan
terhadap peran kepolisian yang luas;
c. Kemauan Polisi
untuk memberdayakan warga dalam bekerjasama, pertukaran informasi dan
pendelegasian wewenang kepolisian;
d.
Penerapan Ilmu
Pengetahuan dan Keterampilan;
e. Mengoptimalkan
taktik khusus kepada target yang ditetapkan dalam memecahkan masalah-masalah
tertentu ketimbang menggunakan taktik-taktik yang bersifat umum seperti
melakukan patroli dan panggilan darurat;
f.
Memberikan
wewenang ke satuan-satuan terdepan yang memiliki tanggung jawab terhadap
permasalahan di suatu komunitas.
Dalam banyak
contoh strategi yang bercirikan model Pemolisian COP tampak pada
1)
upaya pemberdayaan patroli jalan kaki,
2)
upaya menugaskan polisi
yang bertanggung jawab kepada pembinaan sekolah,
3)
upaya polisi
dalam menghadirkan kantor-kantor pelayanan yang didekatkan dengan masyarakat,
4)
upaya polisi
dalam menyebar polisi-polisi pedesaan atau polisi yang ditempatkan pada
komunitas-komunitas berdasarkan karakter geografis seperti polisi di komunitas
nelayan, polisi di komunitas pedagang ,
5)
atau mengoptimalkan
aktifitas di lingkungan warga dalam pencegahan kejahatan ( Zhao, He, dan
Lovrich 2003).
2.
Hot Spot Policing
: Model pemolisian yang didasarkan kepada respons kepolisian terhadap
perkembangan kejahatan di suatu area (Specific Area) dengan menggunakan metode
MAPS (Mapping And Analysis For Public Safety).
Dalam
banyak evaluasi praktek pemolisian model ini khususnya di Amerika Serikat,
model pemolisian “Hot Spot” ini mampu menghilangkan kejahatan di suatu tempat
yang menjadi perhatian atau fokus para penegak hukum.
Tetapi
kecenderungannya para pelaku kejahatan akan beroperasi pada daerah lain yang
kurang mendapatkan perhatian dari aparat penegak hukum.
Hot
spot policing relatif efektif digunakan pada area atau wilayah yang kecil
dengan jumlah personel yang terbatas, misalnya penanganan kejahatan pada
pemukiman kosong yang ditinggalkan pemudiknya pulang kampung pada saat hari
raya. Atau penanganan minuman keras pada lingkungan-lingkungan sekolah.dsb
3.
Intelegence Led
Policing : “Intelegence Led Policing”secara harafiah merupakan strategi
operasional yang diterapkan oleh kepolisian dalam menanggulangi kejahatan yaitu
dengan mengkombinasikan penggunaan analisa kejahatan dan intelijen kriminal
dalam menentukan taktik menurunkan kejahatan dengan memfokuskan pada penegakkan
hukum dan pencegahan aktifitas kejahatan para pelaku kejahatan dengan
menfokuskan pada aktifitas para residivis.
Strategi
operasional ini menekankan pada pengumpulan data intelijen melalui suatu
kegiatan intelijen dalam mengumpulkan bahan-bahan informasi yang diperlukan
melalui jaringan informan, interview terhadap para pelaku kejahatan, analisa
data panggilan telephone, pembuntutan pelaku kejahatan , pengumpulan informasi
dari masyarakat.
Data
– data itu kemudian dianalisa untuk menentukan taktik-taktik operasional yang
akan dilakukan dalam kegiatan atau operasi penegakkan hukum terhadap
target-target yang telah ditetapkan.
Perbedaan
model ini dengan problem – oriented policing adalah problem-oriented policing
secara filosophy menekankan pada pemecahan masalah-masalah yang dapat
menimbulkan kejahatan.
D. Penutup
Secara
mendasar telah digambarkan beberapa teori tentang lahirnya suatu kejahatan di
masyarakat serta beberapa teori pemolisian yang merupakan landasan konseptual
yang juga merupakan landasan menentukan strategi penanggulangannya.
Tentunya
setiap kejahatan lahir dari berbagai sebab dan berwujud dalam berbagai karakter
sehingga menurut penulis pemecahannya juga memerlukan strategi yang tepat
sesuai dengan karakter kejahatan yang dihadapi dan tujuan-tujuan yang
diinginkan dari manajemen kepolisian dalam menangani berbagai fenomena
kejahatan yang ada di masyarakat.
Apakah
ia bertujuan untuk mengungkap kejahatan itu sendiri ataukah mencegah kejahatan
tersebut tidak terulang kembali di kemudian hari melalui pemecahan akar
masalahnya.
Dalam
prakteknya semua menjadi sangat penting, karena pada prinsipnya model
pemolisian satu dengan model pemolisian lainnya bersifat saling melengkapi dan
dapat digunakan sebagai strategi penanganan kejahatan demi terwujud dan
terpeliharanya kamtibmas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar