Entri Populer

Kamis, 09 Februari 2012

TAKTIK


TAKTIK-TAKTIK KEPOLISIAN DALAM SIASAT PENGAMANAN KEGIATAN MASYARAKAT
OLEH
AKBP ANDRY WIBOWO,SIK,MH,MSI

I.                    LATAR BELAKANG

Kegiatan kepolisian pada umumnya selalu berkorelasi dengan berbagai respons masyarakat terhadap dinamika situasi yang berhubungan dengan sendi-sendi kehidupan sosialnya baik yang bersifat pribadi maupun kolektif. Hal ini sejalan juga dengan kebutuhan setiap individu di masyarakat akan perasaan aman dan damai yang merupakan salah satu kebutuhan dasar yang penting sebagaimana disampaikan oleh Abraham Maslow.
Respons kepolisianpun diwujudkan dalam berbagai bentuk aktifitas polisi seperti patroli, pengaturan lalu lintas, penjagaan dan pengawalan sampai dengan upaya-upaya kepolisian lainnya yang diperlukan untuk memastikan bahwa kejahatan terkendali, ketertiban masyarakat terjaga serta pelayanan kepolisian dirasakan oleh masyarakat.
Kompleksitasnya dinamika kegiatan masyarakat dibandingkan dengan  terbatasnya sumber daya kepolisian menyebabkan kepolisian harus bersiasat dalam menyelenggarakan aktifitas kepolisiannya yang pada kenyataannya memerlukan langkah-langkah mobilisasi anggotanya sebagai instrumen utama dari penyelenggaraan aktifitas kepolisian.
Siasat Kepolisian merupakan suatu upaya yang bersifat praktis dari suatu organisasi kepolisian yang dibutuhkan dalam rangka memilih strategi atau model kepolisian yang dikedepankan, taktik kepolisian yang digunakan, teknis kepolisian yang dikedepankan serta kecapakan/ketrampilan kepolisian yang dibutuhkan dalam menjawab tantangan tugas yang harus dihadapi.
Tanpa siasat kepolisian maka dapat dipastikan bahwa aktifitas kepolisian yang diselenggarakan akan mengalami kekacauan, karena mobilisasi personel kepolisian dalam suatu aktifitas kepolisian yang seharusnya bertindak sebagai satu kesatuan yang utuh meskipun tersebar dalam titik-titik penugasan dengan multi fungsi dan kecakapan akan bertindak sendiri sendiri bagaikan suatu orchestra dimana para pemainya memainkan alat musiknya masing-masing tanpa irama dan tanpa kepemimpinan seorang dirigen.
Konsekuensinya dari kekacauan itu adalah potensi pelanggaran oleh personel polisi menjadi relatif tinggi, pengendalian kegiatan masyarakat tidak dapat terukur secara tepat yang berakibat pencapaian sasaran menjadi tidak efektif  serta infesiensi dalam mobilisasi dan pemanfaatan sumber daya kepolisian.
Untuk menghindari itu semua maka memerlukan suatu siasat kepolisian yang merupakan suatu seni pemolisian (Art Of Policing), dimana personel kepolisian secara umum harus mengetahuinya (Know ) dan para pimpinan kepolisian harus menguasainya (competence) dalam hal ini kita bisa merumuskannya menjadi Know + Competence.

II.                   Kegiatan Masyarakat

Wujud kegiatan masyarakat dapat dikategorikan dalam beberapa sifat, jenis dan karakter.Sifat kegiatan masyarakat dapat dinilai dari intensitas dan keajegan kegiatan tersebut berlangsung dimasyarakat.
Dari pengalaman tugas sebagai seorang polisi maka wujud kegiatan masyarakat tersebut dapat diklasifikasikan menjadi kegiatan yang bersifat :
A.      Rutin : Didasarkan pada kegiatan masyarakat yang dilakukan setiap hari Contoh pergi ke pasar, Ke tempat bekerja,  ke sekolah, ke masjid, ke gereja, dan berbagai kegiatan rutin lainnya yang harus dilayani oleh aktifitas kepolisian yang bersifat rutin;
B.      Insidentil : Didasarkan pada kegiatan masyarakat tertentu bersifat sekali-kali seperti adanya konser musik, pertandingan sepak bola antar kampung, perkawinan dan berbagai kegiatan insidentil lainnya yang harus dilayani oleh aktifitas kepolisian dengan pola rutin (Kegiatan Kepolisian) yang ditingkatkan dalam wujud kegiatan pengamanan kegiatan;
C.      Periodik : Didasarkan pada kegiatan masyarakat yang terjadi secara periodik seperti perayaan hari raya umat beragama, Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Negara, Pemilu, dsb yang memerlukan aktifitas kepolisian dengan pola rutin yang ditingkatkan atau pola khusus dalam bentuk penyelenggaraan operasi kepolisian;
D.     Khusus : Didasarkan pada kegiatan masyarakat yang bersifat khusus yang waktunya dapat diperkirakan atau tidak dapat diperkirakan seperti penyelenggaraan kegiatan olimpiade, Pesta Olah raga ASEAN, PON, atau kegiatan yang dihadiri dan diikuti oleh pejabat negara maupun VIP. Kegiatan ini tentunya memerlukan suatu aktifitas kepolisian dengan pola khusus baik dalam bentuk kegiatan rutin yang ditingkatkan maupun operasi kepolisian.
E.      Darurat : Didasarkan pada kegiatan masyarakat yang bersifat darurat yang diakibatkan oleh suatu peristiwa yang terjadi di masyarakat baik disebabkan oleh manusia maupun alam seperti kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban jiwa, terorisme, kebakaran dalam skala tertentu, bencana alam dalam berbagai skala bentuk dan dampaknya, dsb. Peristiwa ini tentunya memerlukan aktifitas kepolisian khusus baik melalui kegiatan rutin maupun operasi kepolisian.

III.                Taktik-Taktik Kepolisian

Dalam melaksanakan kegiatan pengamanan terhadap wujud kegiatan masyarakat dengan berbagai klasifikasi diatas, ada beberapa taktik kepolisian yang umum dikenal dan dilakukan selama ini, yaitu :

A.      Sistem Point : Sistem point adalah taktik pengamanan kepolisian yang paling sederhana yaitu dengan menempatkan personel kepolisian untuk melakukan penjagaan di suatu objek yang memerlukan pengamanan kepolisian contoh penjagaan di Bank, Penjagaan di SPBU,Penjagaan di Kantor dan Lembaga Pemerintah, termasuk penempatan seorang Babinkamtibmas di suatu desa.

B.      Sistem Point To Point : Sistem Point To Point adalah Taktik pengamanan kepolisian yang menempatkan personel kepolisian untuk melakukan penjagaan di beberapa objek sejenis dalam menghadapi suatu eskalasi ancaman terhadap objek sejenis, misal ancaman kejahatan terhadap mini market, gangguan kamtibmas terhadap SPBU akibat kelangkaan Bahan Bakar Minyak sehingga mengakibakan antrian konsumen BBM di SPBU-SPBU.

C.      Sistem Ring : sistem Ring adalah taktik pengamanan kepolisian yang menempatkan personel kepolisian untuk melakukan penjagaan secara berlapis pada suatu area yang memerlukan pengamanan kepolisian. Misalnya pengamanan kegiatan masyarakat di suatu gedung dengan menghadirkan pejabat VIP maka dalam situasi ini, sistem pengamanan Ring dapat dioperasionalkan yaitu menjadi Ring I misalnya pengamanan di dalam stadion, Ring II di Luar Stadion Misal Areal Parkir, Ring III di Luar Pagar Stadion , dst.Dalam pengamanan tingkat presiden pun sistem Ring ini diberlakukan dimana Polri menjadi bagian pengamanannya.

D.     Sistem Beat : Sistem Beat adalah taktik pengamanan kepolisian yang menempatkan personel kepolisian pada suatu area tanggung jawab yang disebut dengan “Beat”.Dimana rentang tanggung jawabnya ditentukan sesuai dengan jumlah personel dibandingkan luas wilayah yang ingin dibagi dalam beat. Personel yang ditugaskan memiliki kewajiban untuk melakukan patroli beat. Sistem beat ini relatif efektif dilakukan pada daerah-daerah perkotaan dibandingkan dengan pedesaan. Selain infra struktur jalan yang lebih baik daerah perkotaan memiliki populasi yang lebih padat dan tinggal dalam suatu situasi tata kota modern.

E.      Sistem Sektor : Sistem sektor adalah taktik pengamanan kepolisian yang menempatkan personel kepolisian pada suatu area tanggung jawab yang disebut dengan “sektor”. Dimana rentang tanggung jawabnya ditentukan sesuai dengan luas wilayah atau area pengamanan dan jumlah personel yang tersedia. Mekanisme pembagiannya hampir sama dengan pola “Beat” hanya saja sistem sektor ini dimungkinkan digunakan pada suatu stadion,atau gedung dan tidak harus di suatu wilayah yang luas. Misal pengamanan kegiatan konser musik “X” di gedung “Y” maka personel pengamanan akan dibagi dalam sektor – sektor pengamanan yaitu wilayah sekitar panggung, wilayah tribun atas, wilayah tribun bawah, wilayah VIP, dst. Perbedaan lain dengan sistem beat, dalam sistem sektor diawaki oleh beberapa personel dan ada perwira pengendalinya yang memiliki tanggung jawab di setiap sektor.

F.       Sistem Kombinasi : Sistem kombinasi adalah taktik pengamanan kepolisian yang mengkombinasikan beberapa taktik dasar diatas. Bisa saja kombinasi itu menggambungkan antara sistem Ring dengan sistem sektor, atau kombinasi sistem ring, sistem sektor dan sistem beat. Semua tergantung dari tantangan tugas yang dihadapi dan jumlah sumber daya yang tersedia.Misalnya dalam pengamanan Kunjungan Presiden di suatu daerah maka sistem kombinasi ini efektif digunakan.

G.     Sistem Multi Kombinasi (Hulu-Route-Hilir) : Sistem multi kombinasi adalah taktik pengamanan yang multi sistem. Ia memungkinkan menggunakan seluruh sumber daya yang tersedia. Misalnya pengamanan suatu pertandingan sepakbola dalam liga Indonesia dengan jumlah suporter fanatik yang besar maka sistem multi kombinasi inilah yang efektif. Karena kegiatan pengamanan sudah harus dimulai sejak penonton berangkat dari rumah atau tempat berkumpul mereka, route perjalanan yang mereka lalui sampai dengan stadion dimana akumulasi jumlah penonton menjadi massa  yang memerlukan pengendalian yang efektif. Dalam istilah penulis sistem multi kombinasi memungkinkan polisi melakukan deteksi, katalisasi, kanalisasi, separasi, edukasi s/d pengendalian sejak dini atau sejak massa masih tercerai berai dalam jumlah kecil.


IV.               Penutup

The Art Of Policing atau seni pemolisian dapat dimaknai sebagai suatu seni  bagaimana polri mensiasati sumber daya yang tersedia dihadapkan dengan berbagai tantangan tugas pokok, fungsi dan perannya.
Taktik Pengamanan yang dituliskan ini adalah bagian dari upaya Polri mensiasati dirinya dalam menjalankan kewajibannya tersebut guna melayani berbagai kegiatan masyarakat yang datang silih berganti dan dalam bobot ancaman yang berbeda-beda. 

Rabu, 08 Februari 2012

MODEL KEGIATAN KEPOLISIAN


 Pola-pola Kejahatan dan Model-model  Pemolisian
OLEH
AKBP ANDRY WIBOWO, SIK, MH, MSI

A.   Latar Belakang

Fight The Crime adalah salah satu motto kepolisian yang bersifat universal tidak terkecuali bagi kepolisian di Indonesia. Sebagai bayang-bayang dalam kehidupan masyarakat kejahatan pada kenyataannya merupakan bagian dari patologi sosial yang lahir dari bermacam sebab.
Sebab-sebab tersebut kemudian mendorong para ahli di bidang ilmu sosial untuk mempelajari sebab-sebab lahirmya kejahatan yang melahirkan teori-teori terjadinya kejahatan ( Crime Pattern Theory).
Tentunya kejahatan-kejahatan tersebut tidak dapat dibiarkan berkembang, sehingga dalam rangka menanggulangi perkembangan kejahatan lahirlah teori-teori penanggulangan kejahatan.
Salah satu teori tersebut berkembang pada ilmu kepolisian yang kemudian mendorong berbagai teori pemolisian yang merupakan landasan konseptual untuk mengembangkan berbagai strategi bagi kepolisian untuk menanggulangi kejahatan.
Jika dalam dunia militer kita mengenal berbagai strategi dalam berperang maka merupakan kewajiban bagi setiap anggota kepolisian untuk mampu menguasai berbagai teori lahirnya kejahatan dalam memahami tantangan persoalan yang dihadapi  dan teori pemolisian dalam rangka berstrategi untuk menanggulanginya.

B.   Teori terjadinya kejahatan (Crime Pattern Theory) :

Dalam konsep dasar yang dikenal selama ini, kita telah mengenal suatu konsep dasar tentang terjadinya suatu kejahatan yaitu bertemunya Niat dan Kesempatan (KJ=N+K). Teori dasar ini demikian popular sehingga masyarakatpun memahami teori ini.
Untuk melengkapi teori-teori tersebut dan untuk kepentingan pemahaman bagaimana suatu kejahatan dapat terjadi kepada setiap orang maka di bawah ini beberapa teori dasar tentang bagaimana pelaku kejahatan memanfaat setiap situasi yang memungkinkan pelaku melakukan kejahatan :

  1. Hot Spot Policing : Pemolisian dengan model “Hot Spot Policing” merupakan model pemolisian yang lahir dari pemikiran kenapa kejahatan terjadi di tempat tertentu dan tidak di tempat lain.model pemolisian seperti ini lahir sejalan dengan perkembangan kriminologi pada tahun 1980-an yang dikembangkan oleh Paul Dan Patricia Bratingham. Model ini dititik beratkan pada prinsip-prinsip geografis yang dipandang dari ilmu kriminologi.Dalam pemolisian model ini membutuhkan  kemampuan polisi untuk memetakan dan menganalisanya atau dikenal dengan Mapping and Analysis For Public Safety (MAPS).
  2. Routine Activity Theory : Konsep terjadinya kejahatan berdasarkan  “Routine Activity Theory” didasarkan pada suatu respons atas konsep kejahatan yang menyatakan  bahwa kejahatan terjadi karena  adanya pelaku kejahatan yang bertemu dengan  target yang diinginkan serta  tidak adanya kekuatan pengamanan pada waktu yang bersamaan. Pelaku kejahatan memilih dan menemukan target mereka mengikuti kegiatan rutin korbannya, seperti melakukan perjalanan dari rumah ke kantor, berbelanja, dsb. Sehingga pelaku kejahatan akan melakukan kejahatannya terhadap sasaran yang diinginkan dengan mengikuti pola kegiatan rutin sasarannya.
  3. Situational Crime Prevention Theory : Teori ini memberikan rekomendasi kepada polisi atau otoritas yang berwenang dalam penanggulangan kejahatan bahwa kejahatan dan ketidak tertiban umum dapat dicegah dengan mengurangi kesempatan terjadinya kejahatan. Misalnya kejahatan sering terjadi di lorong atau jalan gelap, maka otoritas publik dapat melakukan pencegahan dengan memberikan penerangan pada lorong atau jalan gelap tadi dengan suatu lampu penerangan serta meningkatkan kehadiran polisi di lorong atau jalan tersebut.
  4. Broken Windows Theory :Teori ini memberikan gambaran kepada kita bahwa kejahatan besar lahir diawali dengan berbagai bentuk pelanggaran ringan di masyarakat yang tidak segera diperbaiki oleh polisi atau otoritas publik lainnya.
  5. Crime Oppurtunity Theory : Teori ini memberikan gambaran kepada kita bahwa suatu kejahatan dapat terjadi manakala pelaku kejahatan melihat adanya peluang  atau kesempatan bagi mereka untuk melakukan suatu kejahatan, misal seseorang memarkirkan kendaraan bukan di tempat yang ditentukan, maka hal ini akan mengundang  pelaku kejahatan untuk melakukan pencurian kendaraan bermotor.
  6. Social Disorganization Theory :Dalam konsep ini kejahatan dapat terjadi manakala tidak terjadi suatu relasi warga yang baik seperti tidak adanya suatu kehidupan kolektif di suatu komunitas atau kehidupan yang individualis yang menyebabkan antar warga tidak saling peduli termasuk kepedulian terhadap situasi lingkungannya.

C.   Model-model Pemolisian

Model-model pemolisianpun terus berkembang sejalan dengan tuntutan situasional yang terus berkembang kepada kepolisian di manapun di dunia untuk mampu mengendalikan kejahatan, menjaga ketertiban umum serta memberikan pelayanan kepolisian yang terbaik. Kesemuanya dilakukan dalam rangka terpeliharanya suatu situasi keamanan dan ketertiban masyarakat.
Beberapa model pemolisian dibawah ini merupakan model-model yang dikembangkan oleh kepolisian-kepolisian di dunia.
1.    Community Oriented Policing: COP mulai dikenal dan diterima dalam praktek pemolisian sekitar tahun 1980-an sebagai alternative dari model-model pemolisian tradisioonal yang telah berlangsung kurang lebih 150 tahun sejak kepolisian modern diperkenalkan oleh sir robert peel.
Ketika kepolisian tradisional memprioritaskan kepada kontrol terhadap kejahatan dan pemeliharaan ketertiban, 2(dua) dari 3 (tiga) fungsi utama kepolisian, maka COP mencoba mengembangkan fungsi utama ke 3 (tiga) dari kepolisian yaitu pada pelayanan kepolisian dan kegiatan kepolisian pada upaya pencegahan kejahatan.
Dalam model ini maka dituntut redefinisi hubungan polisi dengan komunitas, dimana komunitas merupakan Co-Producers dari perumusan program-program keamanan dan ketertiban masyarakat (Skolnick and Bayley ; 1988).




Ada beberapa elemen penting dalam pelaksanaan program Community-Oriented Policing ini yaitu :
a.    Pemberdayaan komuniti;
b.    Kepercayaan terhadap peran kepolisian yang luas;
c. Kemauan Polisi untuk memberdayakan warga dalam bekerjasama, pertukaran informasi dan pendelegasian wewenang kepolisian;
d.    Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Keterampilan;
e. Mengoptimalkan taktik khusus kepada target yang ditetapkan dalam memecahkan masalah-masalah tertentu ketimbang menggunakan taktik-taktik yang bersifat umum seperti melakukan patroli dan panggilan darurat;
f.      Memberikan wewenang ke satuan-satuan terdepan yang memiliki tanggung jawab terhadap permasalahan di suatu komunitas.
Dalam banyak contoh strategi yang bercirikan model Pemolisian COP tampak pada
1)     upaya pemberdayaan patroli jalan kaki,
2)    upaya menugaskan polisi yang bertanggung jawab kepada pembinaan sekolah,
3)    upaya polisi dalam menghadirkan kantor-kantor pelayanan yang didekatkan dengan masyarakat,
4)    upaya polisi dalam menyebar polisi-polisi pedesaan atau polisi yang ditempatkan pada komunitas-komunitas berdasarkan karakter geografis seperti polisi di komunitas nelayan, polisi di komunitas pedagang ,
5)    atau mengoptimalkan aktifitas di lingkungan warga dalam pencegahan kejahatan ( Zhao, He, dan Lovrich 2003).
2.    Hot Spot Policing : Model pemolisian yang didasarkan kepada respons kepolisian terhadap perkembangan kejahatan di suatu area (Specific Area) dengan menggunakan metode MAPS (Mapping And Analysis For Public Safety).
Dalam banyak evaluasi praktek pemolisian model ini khususnya di Amerika Serikat, model pemolisian “Hot Spot” ini mampu menghilangkan kejahatan di suatu tempat yang menjadi perhatian atau fokus para penegak hukum.
Tetapi kecenderungannya para pelaku kejahatan akan beroperasi pada daerah lain yang kurang mendapatkan perhatian dari aparat penegak hukum.
Hot spot policing relatif efektif digunakan pada area atau wilayah yang kecil dengan jumlah personel yang terbatas, misalnya penanganan kejahatan pada pemukiman kosong yang ditinggalkan pemudiknya pulang kampung pada saat hari raya. Atau penanganan minuman keras pada lingkungan-lingkungan sekolah.dsb
3.    Intelegence Led Policing : “Intelegence Led Policing”secara harafiah merupakan strategi operasional yang diterapkan oleh kepolisian dalam menanggulangi kejahatan yaitu dengan mengkombinasikan penggunaan analisa kejahatan dan intelijen kriminal dalam menentukan taktik menurunkan kejahatan dengan memfokuskan pada penegakkan hukum dan pencegahan aktifitas kejahatan para pelaku kejahatan dengan menfokuskan pada aktifitas para residivis.
Strategi operasional ini menekankan pada pengumpulan data intelijen melalui suatu kegiatan intelijen dalam mengumpulkan bahan-bahan informasi yang diperlukan melalui jaringan informan, interview terhadap para pelaku kejahatan, analisa data panggilan telephone, pembuntutan pelaku kejahatan , pengumpulan informasi dari masyarakat.


Data – data itu kemudian dianalisa untuk menentukan taktik-taktik operasional yang akan dilakukan dalam kegiatan atau operasi penegakkan hukum terhadap target-target yang telah ditetapkan.
Perbedaan model ini dengan problem – oriented policing adalah problem-oriented policing secara filosophy menekankan pada pemecahan masalah-masalah yang dapat menimbulkan kejahatan.


D.   Penutup

Secara mendasar telah digambarkan beberapa teori tentang lahirnya suatu kejahatan di masyarakat serta beberapa teori pemolisian yang merupakan landasan konseptual yang juga merupakan landasan menentukan strategi penanggulangannya.
Tentunya setiap kejahatan lahir dari berbagai sebab dan berwujud dalam berbagai karakter sehingga menurut penulis pemecahannya juga memerlukan strategi yang tepat sesuai dengan karakter kejahatan yang dihadapi dan tujuan-tujuan yang diinginkan dari manajemen kepolisian dalam menangani berbagai fenomena kejahatan yang ada di masyarakat.
Apakah ia bertujuan untuk mengungkap kejahatan itu sendiri ataukah mencegah kejahatan tersebut tidak terulang kembali di kemudian hari melalui pemecahan akar masalahnya.

Dalam prakteknya semua menjadi sangat penting, karena pada prinsipnya model pemolisian satu dengan model pemolisian lainnya bersifat saling melengkapi dan dapat digunakan sebagai strategi penanganan kejahatan demi terwujud dan terpeliharanya kamtibmas.

Senin, 06 Februari 2012

KEAMANAN KEMANUSIAAN DALAM PARADIGMA PERPOLISIAN GUNA MENGOPTIMALKAN FUNGSI DAN PERAN POLRI DALAM MENGHADAPI FENOMENA PERUBAHAN PERADABAN BANGSA


Keamanan Kemanusian (Human Security) Dalam Paradigma Perpolisian
 Guna Mengoptimalkan Fungsi dan Peran Polri
 Dalam Menghadapi Fenomena Perubahan Peradaban Bangsa
Oleh
AKBP ANDRY WIBOWO,SIK,MH,MSI

Sejak abad ke 16 di eropa fungsi kepolisian (Police Power) telah menjadi fungsi pemerintahan tersendiri disamping fungsi pertahananan (defense), Hubungan Luar Negeri (diplomatic), Keuangan (financial) dan peradillan (yustisi) dimana kepolisian pada waktu itu adalah fungsi urusan dalam negeri yang meliputi urusan keamanan dan kesejahteraan rakyat.[1]
Maka dari itu pemisahan organ kepolisian dari organ militer sebagai bagian dari reformasi (penataan ulang) pembagian kekuasaan negara yang terjadi di Indonesia seolah-olah mempertegas perlunya kemandirian organ kepolisian yang terpisah dan berbeda dari organ militer.Maka dari itu dan selanjutnya , tentunya secara ideologis dan hakekat fungsi masing-masing diharapkan  tidak akan terjadi lagi upaya penggabungan organ kepolisian kepada organ militer di masa yang akan datang.
Untuk itulah kemudian didasarkan kepada amandemen ke 2 dari UUD 1945 dan penetapan UU No 2 Tahun 2002 Polri menjadi organisasi yang mandiri dan terlepas dari ABRI.[2] Selanjutnya kebijakan dan program reformasi Kepolisian ditetapkan dan diimplementasikan yang meliputi penataan kembali struktur kepolisian dari tingkat Markas Besar sampai dengan Tingkat Komando Operasional Dasar, Instrumental yang bebagai peraturan kepolisian di bidang operasional maupun pembinaan serta reformasi tata laku yang menyangkut budaya organisasi dalam menjalankan amanat UU Kepolisian tersebut.
Polri dengan Fungsi kepolisian umumnya[3](selanjutnya :fungsi kepolisian ) kemudian terus tumbuh dan berkembang sebagai bagian dari Alat Kekuasaan  Pemerintahan (executive Power) atau setidak-tidakya pelaksana kebijakan pemerintahan  sebagai  suatu kewajiban dari Negara dalam menyelenggarakan suatu kegiatan kepolisian yang mampu mendorong terwujudnya suatu perasaaan aman bagi masyarakat dan tegaknya aturan-aturan hukum yang hidup dan tumbuh di masyarakat sebagai wujud dari suatu ketertiban yang ditandai dengan adanya keteraturan dan harmoni sosial (Social Order and social Cohesiveness) serta tertanganinya secara baik  berbagai bentuk gangguan terhadap stabilitas kamtibmas melalui kegiatan Polri di bidang pemeliharaan kamtibmas, penegakkan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat termasuk kemampuan masyarakat berpartisipasi dalam bidang Kamtibmas.[4]
Rasa aman dan kebutuhan akan suasana damai yang didasarkan kepada  stabilitas situasi keamanan dan ketertiban masyarakat  tersebut mutlak dibutuhkan oleh negara maupun masyarakat yang hidup dalam wilayah indonesia   bahkan saat ini menjadi kebutuhan masyarakat internasional dalam rangka terjaminnya pertumbuhan dan keberlangsungan kehidupan bersama antar manusia (Human Kind) maupun antar warga Negara (Inter Nationality) ,karena dalam era kerjasama global saat ini instabilitas suatu Negara akan mempengaruhi stabilitas kawasan yang tentunya akan menjadi perhatian komunitas internasional. Sehingga secara universal organ dan fungsi kepolisian  itu menjadi organ dan fungsi strategis yang dibutuhkan oleh peradaban manusia.
Untuk itulah kemudian organ dan  fungsi kepolisian diatur nilai-nilai universalnya dalam United Code Of Conduct For Law Enforcement 1979 serta berbagai peraturan internasional lainnya yang relevan dan mengikat bagi organ  kepolisian di seluruh dunia termasuk bentuk kerjasama antar organ kepolisian negara.
Sebagai bagian dari fungsi pemerintahan negara, fungsi Polri di dalam Negara Kesatuan Republic Indonesia  secara umum juga memiliki fungsi yang sama dengan fungsi kepolisian di Negara lainnya yaitu  Sebagai alat Negara dalam menjalankan  fungsi pemerintahan (executive power) dalam menjamin  kondisi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang aman dan tertib.
Dalam salah satu pasal dari UU no 2 Tahun 2002 itu dinyatakan :
“ Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat Negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharannya keamanan dalam negeri “.
Dalam sejarah bangsa Indonesia , fungsi kepolisian  inipun secara historis telah ada dan berkembang dalam kehidupan masyarakat tradisional yang berdasarkan kesukubangsaannya seperti pecalang di Bali  , semi State organized people dalam masa kerajaan (Monarchy system)  dan masa-masa colonial .
Mengenai hal ini dalam amanedemen UUD 1945 Pasal 18 B dinyatakan juga bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia , yang diatur dalam Undang-undang”.
Hal ini menunjukkan bahwa fungsi kepolisian sesungguhnya juga menjadi bagian fungsi yang penting tidak saja bagi otoritas kekuasaan  yang memiliki tanggung jawab mengelola pemerintahan  dan kepentingan politik kekuasaan, tetapi hakikinya juga menjadi bagian dari fungsi masyarakat  dalam rangka terjaganya keamanan dan tegaknya aturan di suatu lingkungan sosial masing-masing berdasarkan norma-norma yang hidup di komunitasnya (Community Security and Discipline) termasuk menjaga eksistensi suku bangsanya dari ancaman suku bangsa lainnya.
Fungsi kepolisian yang demikian penting dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tersebut dalam prakteknya selalu dihadapkan kepada suatu situasi dinamis dari berbagai dimensi kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara yang sangat dipengaruhi oleh berbagai kondisi yang mempengaruhi situasi tersebut.
Kondisi tersebut dapat berupa berbagai peristiwa yang terjadi sebagai akibat dari perilaku manusia (Human Behaviour) dalam bentuk berbagai kejahatan (Crime)  dan penyimpang perilaku lainnya (deviance behaviour), Peristiwa alam (environmental phenomena) dalam bentuk bencana alam maupun perkembangan ilmu pengetahuan (science phenomena) yang telah mendorong berbagai perubahan perilaku manusia yang memberikan dampak kepada peradaban manusia dan tidak sedikit  perubahan peradaban tersebut menimbulkan  permasalahan baru yang tidak pernah kita pikirkan sebelumnya.
Kondisi  tersebut berakibat kepada tuntutan bekerjanya organ dan  fungsi kepolisian dalam merespons dinamika perubahan tersebut   termasuk didalamnya  merupakan verifikasi terhadap efektifitas bekerjanya  organ dan fungsi  Kepolisian Negara republic Indonesia sebagaimana amanah konstitusinya yang tertuang dalam UUD 1945 Amandemen ke 2 dan  UU No 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Maka dan selanjutnya dapat dipastikan organ dan  fungsi kepolisian  tersebut akan terus  berubah dan berkembang termasuk model-model perpolisiannya  mengikuti perubahan kondisi masyarakat dan lingkungannya sebagai wujud operasionalisasi kewajiban Negara untuk tetap menjamin suatu keamanan dan ketertiban masyarakat sebagai bagian dari kewajiban konstitusi dari Negara.[5]
Hal ini juga sejalan dengan pemikiran Jeremy Bentham salah seorang penggagas ajaran utilittarianisme yang menyatakan bahwa hukum adalah alat manusia yang dibuat oleh manusia itu sendiri , karena itu setiap saat mestinya berubah berdasarkan kebutuhan masyarakat. Apakah hukum itu baik atau tidak, mestinya tidak ada hubungan dengan sejarah , tetapi merupakan konsekuensi dari apa yang dinilai secara rasional dan empiris serta dievaluasi berdasarkan criteria kebahagian terbesar dari jumlah yang terbanyak (Scott Gordon , 1991 : 113).

Fenomena Dunia DI Era Milenium Ke III dan Ancaman Terhadap Kepentingan Nasional
Abad Ke 21 saat ini yang dikatakan sebagai era millennium ke III merupakan abad dimana perkembangan teknologi informasi di dunia maya (Cyber Era) begitu pesat dan menglobal sebagai kekuatan pendorong (Driving Force) berbagai perubahan tatanan dunia ke dalam satu kesatuan informasi.
 Kesatuan informasi (integrated Information) berdampak pada loncatan perubahan pola pikir (mind set quantum change) yang diikuti pola tindak (culture change)dan mempercepat terjadinya akulturasi budaya bangsa-bangsa (global culture acceleration ) yang mendorong evolusi peradaban manusia dari masyarakat industri menuju masyarakat informasi termasuk juga mendorong revolusi di bidang politik yang mengubah arah system politik di suatu negara.
Akulturasi budaya bangsa-bangsa tidak saja berdampak kepada perubahan budaya suatu bangsa ke arah yang bersifat konstrukstif seperti revitalisasi di bidang hak-hak dasar manusia[6] yang mendorong penguatan kualitas hidup manusia, solidaritas global (Global Solidarity) yang mendorong peningkatan kerja sama di segala bidang berdasarkan tujuan bersama dalam menjaga harmoni dunia (Global Harmony),  tetapi juga ke arah destruktif sebagai akibat dari konflik peradaban (Civilization Conflict) yang dilahirkan dari berbagai perbedaan nilai dan cara pandangnya serta penyalahgunaan media informasi sebagai alat kejahatan seperti terorime,  propaganda global, serta berbagai kejahatan yang berdimensi lintas negara (trans national crime) yang mengakibatkan penyebaran kejahatan hampir merata di seluruh dunia (Global spread of Criminalization) sampai dengan new dimension of war yang melibatkan kekuatan militer melawan  kekuatan sipil bersenjata seperti yang terjadi dalam perang terorisme (War on Terrorism) yang dilakukan oleh Amerika dan sekutunya di Afganistan dan keterlibatan kekuatan kepolisian dalam bentuk Hybrid operation dalam peace keeping operation sebagaimana dilakukan di berbagai Negara yang mengalami internal state conflict.[7]
Sehubungan dengan hal tersebut Samuel  P Hutington dalam bukunya “The Class of civilization memberikan kepada kita suatu hypotesa ilmu politiknya  di “American Enterprise Institute” 1992 yang menyatakan bahwa pada era abad ke 21 khususnya pasca perang dingin antara blok timur yang mengusung paham sosialisme (komunisme) dengan blok barat yang mengusung faham demokrasi (liberalism/kapitalisme), dunia akan menghadapi suatu era yang disebutnya adalah pertarungan peradaban.
Dinyatakan olehnya bahwa pasca perang dingin dunia akan dipenuhi oleh konflik yang didasari pada perbedaan identitas budaya maupun keagamaan.Adapun thesis tersebut disampaikan secara lengkap sebagai berikut :It is my hypothesis that the fundamental source of conflict in this new world will not be primarily ideological or primarily economic. The Great Divisions among humankind and dominating source of conflict will be cultural. Nations states will remain the most power full actors in world affairs, but the principal conflicts of global politics will occur between nations and groups of different civilizations. The clash of civilizations will dominate global politics. The fault lines between civilizations will be the battle lines of the future”.
Dengan merujuk kepada thesis hutington tersebut maka beberapa konflik dan perpecahan suatu bangsa dalam suatu Negara terjadi di berbagai belahan dunia seperti terpecahnya Negara Yugoslavia menjadi beberapa Negara baru yang didasarkan pada hegemoni budaya tertentu baik didasarkan agama maupun cirri-ciri ras dan atau nilai-nilai budaya lainnya yaitu kroasia (Katolik roma),Serbia (Kristen orthodox),  dan bosnia Herzegovina (islam turki)  termasuk uni soviet serta beberapa bangsa di dunia (Sudan,Irak, Afganistan,Haiti,Ethiopia) termasuk di Indonesia yaitu konflik ambon dan poso yang diintervensi oleh kelompok asing (aliens interventions) yang berbasis pada radikalisme menggunakan agama tertentu yang ditujukan untuk meniadakan Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk dirubah dalam bentuk Negara agama.
Merujuk kepada teori Samuel p Hutington tersebut maka beberapa ancaman terhadap kepentingan nasional yang perlu kita identifikasi dan sikapi :

1.      Fault Line Conflict : Konflik antar suku bangsa yang terjadi di dalam suatu Negara.
Sebagaimana kita ketahui Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara Kepulauan yang membentang dari Sabang sampai Merauke dan Pulau Miangas sampai dengan Pulau Rote yang terdiri dari hampir 12.000 an pulau. Pada era majapahit  dengan patih gadjah mada  (Perdana Menteri) Kerajaan Majapahit pada saat itu menyebut rankaian kepulauan ini sebagai nusantara yang kemudian oleh Dr Douwes Dekker (1920) nama nusantara ini mulai diperkenalkan kembali pada era yang berbeda dan dimaknai sebatas pada teritori dari sabang sampai dengan merauke dan pulau miangas dampai dengan pulau rote. Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia yang mendiami kepulauan nusantara tersebut dipengaruhi oleh berbagai pengaruh yang mempengaruhi budaya bangsa dan suku bangsa yang mendiami nusantara. Pengaruh tersebut meliputi beberapa aspek :
a.       Budaya asli suku bangsa yang ada di nusantara yang jumlahnya hampir sama dengan jumlah suku bangsa di nusantara;
b.      Budaya yang dipengaruhi oleh system pemerintahan feudal (monarki) yang ada dalam kelompok social di nusantara pada era kerajaan;
c.       Budaya yang dipengaruhi oleh datangnya agama-agama besar (Islam,Nasrani,Hindu,Budha);
d.      Budaya yang dibawa oleh orang asing baik akibat kolonialisasi maupun perdagangan;
e.       Budaya Internasional sebagai akibat modernisasi dan pembangunan;
f.       Hukum dan Per Undang-undangan yang mengikat Warga Negara Indonesia atau system pemerintahan yang dijalankan oleh Negara;
Negara yang demikian luas dan besar serta memiliki populasi 240 juta orang, maka Negara kesatuan republic Indonesia merupakan salah satu Negara yang memiliki potensi konflik antar suku bangsa yang cukup tinggi. Beberapa kasus yang lalu seperti konflik etnis Madura dan etnis dayak di Kalimantan pada era 1990an merupakan salah satu fakta bahwa keanekaragaman budaya dan agama serta keyakinan yang ada di dalam masyarakat Indonesia merupakan factor kriminogenik yang berpotensi terjadi perselisihan antar suku bangsa atau peradaban yang didasarkan pada identitas kesuku bangsaannya.

2.      Core State Conflict : Konflik antar Negara yang didasarkan kepada perbedaan peradaban
Dalam dunia yang semakin terbuka akibat dari perkembangan digitalisasi di bidang informasi (Cybernetic Era) maka arus informasi yang berkembang di masyarakat akan semakin massive dan cepat. Pengaruh informasi tersebut akan mempengaruhi pola pikir dan pola tindak masyarakatnya. Akibatnya maka potensi konflik antar Negara yang didasarkan kepada perbedaan peradaban makin terbuka peluangnnya untuk terjadi. Radikalisme yang didasarkan kepada fundamentalisme agama telah menjadi titik picu terjadi konflik di berbagai Negara.
Diawali dengan terorisme di gedung WTC yang disebut dengan peristiwa 9/11 maka timbulah perang Iraq dan afganistan yang melibatkan pasukan mutli internasional yang dipimpin Amerika Serikat melawan militant islam yang dipimpin oleh Osama Bin Laden. Begitupun terorisme di Negara Indonesia telah mengakibatkan orang asing (Amerika dan Sekutunya) serta fasilitas-fasilitas yang ada di Negara sasaran menjadi target terorisme tersebut. Terorisme saat ini tidak saja menjadi persoalan kejahatan yang bersifat transnasional tetapi juga merupakan wajah dari konflik peradaban di era milineum ke III.
Selain terorisme dunia pun tetap diwarnai dengan berbagai konflik yang disebabkan oleh perebutan teritori dalam rangka pengaruh politik dan pengaruh hegemoni ekonomi berupa penguasaan sumber daya alam.
Yang juga perlu kita waspadai saat ini adalah perkembangan organisasi kejahatan yang bersifat internasional. Berdasarkan isu yang berkembang di dunia internasional Perserikatan Bangsa-bangsa mencatat bahwa organisasi kejahatan internasional menguasai hampir sepertiga asset dunia.[8]
Maka tidaklah heran untuk menjaga eksistensi keberadaan organisasi kejahatan yang ada maka konflik antar peradaban dapat digunakan sebagai sarana organisasi ini untuk memperluas pengaruh dan kekuatan organisasinya dengan menularkan berbagai perilaku yang menyimpang dan mengadu domba antar peradaban satu dengan peradaban lainnya bahkan dengan nilai nilai kebangsaan yang dianut oleh suatu Negara.
Pada era millennium ke III dunia juga disibukkan pada persoalan perubahan iklim global yang berdampak pada berbagai persoalan kehidupan manusia yang diakibatkan oleh terjadinya berbagai bencana alam. Perubahan iklim dunia merupakan residu dari berbagai persoalan salah satunya adalah akibat dari ledakan populasi dunia dan pembangunan yang dilaksanakan oleh berbagai Negara yang berdampak pada rusaknya berbagai ekosistem dunia.
Populasi dunia telah mengakibatkan meningkatnya kebutuhan akan lahan untuk pemukiman, lahan untuk pangan serta berbagai kebutuhan manusia baik primer, sekunder maupun tertier. Ledakan penduduk dunia dan berbagai pembangunan yang dilaksanakan juga berdampak pada peningkatan penggunaan energy yang masih didominasi oleh energy minyak bumi maupun energy primer lainnya yang tentunya energy ini akan semakin menipis bahkan punah .
Pemanfaatan sumber daya alam tersebut secara berlebihan tanpa adanya suatu system pemanfaatan yang baik berdampak pada cepat rusaknya ekosistem kehidupan yang mengganggu keseimbangan alamiah dari ekosistem dunia itu sendiri.sebagai akibat yang nyata adalah terjadinya berbagai bencana alam yang berdampak pada bencana kemanusiaan di berbagai belahan dunia.
Demikian pula dampak social dari pembangunan tentunya selain mendorong suatu kehidupan yang lebih bermartabat dan sejahtera  tetapi juga akan melahirkan kelompok yang saling berhadapan yaitu antara kelompok superior yang menguasai satu atau lebih sector ekonomi maupun kekuasaan formal dan informal dimana tidak sedikit bahwa penguasaan tersebut tidak terlepas dari perilaku koruptif baik yang dilakukan oleh pelaku ekonomi, legislative, penegakkan hukum maupun unsure-unsur dalam pemerintahan dengan kelompok marginal dengan segala persoalan social yang menyertainya maka tidak heranlah persoalan dunia kedepan juga akan diwarnai oleh berbagai peningkatan angka kejahatan konvesional  serta kelompok perlawanan (inferior) yang akan tetap menjadi bagian dari suatu dinamika kehidupan bermasyarakat sebagai dampak hilangnya hak-hak hidup masyarakat akibat dari ketidak adilan di segala bidang termasuk tumbuh dan berkembangnya gerakan pemisahan diri.
Fenomena berikutnya adalah berkembanganya nilai-nilai demokratisasi yang mendorong tumbuh dan berkembangnya keberanian menyampaikan pendapat serta kritik maupun apresiasi. Demokratisasi dan media informasi menjadi kekuatan baru dalam mengendalikan masyarakat maupun kekuasaan. Kekuasaan Negara  tidak lagi bersifat absolute tetapi kekuasaan atas masyarakat telah terdistribusi dalam kelompok-kelompok kekuatan yang mempengaruhi masyarakat berdasarkan berbagai tipologinya baik yang didasarkan kepada kepentingan ekonomi, politik, social dan budaya, maupun ideology dan kekuatan ini tidak lagi tersentralistik pada suatu fokus tetapi terdistribusi dimana saja di belahan Negara di dunia seperti halnya munculnya  osama bin laden yang mampu mempengaruhi dan mengendalikan berbagai kelompok gerakan fundamentalis islam di seluruh dunia begitupun kartel dan mafia kejahatan terus mengembangkan daerah operasinya tidak saja di Negara dan kawasannya tetapi di seluruh dunia termasuk jaringan organisasi nir laba (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang berbasis pada kepentingan internasional.
Media informasi  saat ini juga  telah menjadi media yang sangat penting dalam mempengaruhi konstruksi sosial masyarakat termasuk mempengaruhi berbagai kebijakan kekuasaan politik. Hampir tidak ada satu wilayah yang steril dari intervensi media informasi. Tidak saja kerahasian Negara (State Secrecy) tetapi juga kehidupan pribadi seseorang dapat dengan mudah menjadi konsumsi pembicaraan public tidak saja sebagai komoditas informasi belaka tetapi sudah menjadi komuditas ekonomi khususnya bagi pemilik dari perusahaan-perusahaan informasi yang tidak sedikit memiliki agenda setting tersendiri.
Media informasi setiap saat dapat mempublikasikan berbagai potret sosial yang ada di masyarakat dalam bentuk komoditas informasi. Visualiasi potret sosial yang kemudian menjadi pesan yang ditangkap oleh audiens, secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi sikap dan persepsi masyarakat terhadap berbagai potret sosial yang digambarkan oleh media informasi  tersebut termasuk sikap dan persepsi terhadap citra Polri.

 Fungsi Kepolisian[9] Di Era Milineum ke III

Abad ke 21 tentunya akan terjadi banyak perubahan di dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tetapi perubahan itu tidak akan merubah tujuan dasar terbentuknya suatu Negara yaitu menegakkan kedaulatan nasional guna memberikan kesejahteraan bagi seluruh warganya.
Hal ini sebagaimana amanat pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi “….kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia..”.
Bertititik tolak pada prinsip dasar tersebut serta tujuan dasar diselenggarakannya fungsi kepolisian sejak abad ke 17 maka fungsi kepolisian pada era milinium ke III khususnya dalam wadah Negara yang berdasarkan demokrasi sebagai cara memerintah  (forma imperii) dan dalam bentuk republic (forma regiminis) memiliki fungsi yang utama dalam menjaga harmonisasi antara kepentingan yang lahir dari munculnya gejala-gejala kekuasaan di masyarakat yang saling bertentangan  satu dengan lainnya sekaligus mengintegrasikan dan mengorganisir manusia dan golongan-golongan ke arah yang tercapai tujuan dari masyarakat seluruhnya.Pengendalian ini dilakukan dalam system hukum dan dengan perantara pemerintah beserta segala alat-alat perlengkapannya.
Dalam rangka menunjang pembangunan nasional menuju masyarakat yang terjaganya hak dasar manusianya,Polri dengan penyelenggaraan  fungsi kepolisiannya dihadapkan kepada tuntutan untuk mampu menjamin terselengaranya pembangunan nasional yang tidak saja diperuntukkan untuk kepentingan jangka pendek tetapi juga harus mampu menjangkau kepentingan jangka panjang serta tidak saja menjaga kepentingan Negara (pemerintah) tetapi juga masyarakat.
 Pembangunan nasional dalam  jangka pendek dan sedang tentunya difokuskan kepada terjaminnya suatu aktifitas industrial sebagai penggerakan utama ekonomi bangsa sehingga kegiatan-kegiatan ekonomi tersebut dapat terselenggara sebagaimana mestinya tanpa adanya gangguan yang dapat menghambat dinamika industrialisasi perekonomian masyarakat di segala sector.Dampak dari bergerakannya industry tersebut maka ekonomi masyarakat akan tumbuh secara sehat dan standar hidup minimal dapat dicukupi.
Sedangkan fungsi kepolisian dalam menjaga terjaminnya pembangunan ekonomi jangka panjang yaitu terjaganya sumber-sumber daya alam yang ada sebagai sumber pokok kehidupan masyarakat secara lestari dan dapat bermafaat bagi kepentingan masyarakat di masa datang. Fungsi kepolisian akan memainkan peran bagi pengawasan terhadap penggunaan sumber daya alam yang bermanfaat secara tertib dan mencegah terjadi eksploitasi secara berlebihan tanpa memperhatikan resiko terganggunya ekosistem kehidupan baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Perambahan hutan dan penambangan sumber daya alam secara massive tanpa control dan penataan yang baik serta  semata-mata hanya ditujukan bagi kepentingan nilai ekonomi tanpa memperhatikan kepentingan kemanusian lainnya akan berdampak pada percepatan terjadinya bencana kemanusian berupa kelaparan, pemanasan global, migrasi manusia yang akan berpotensi terjadinya  konflik komunal dan terjadinya perang di dalam negara , punahnya ekosistem lainnya serta menipisnya harapan hidup generasi berikut sebagai akibat hilangnya potensi pendukung kehidupan masyarakat di masa datang.
Demikian pula fungsi kepolisian akan menentukan kekuatan Integrasi bangsa dimana di awal sejarah berdirinya bangsa ini integrasi itu diawali  dengan satu sikap yang sama yaitu senasib atas tindakan koloniliasasi yang dilakukan oleh belanda maupun jepang serta adanya tekad untuk kemandirian bangsa yang didasarkan kepada ikatan kebangsaan yang sama yang didasarkan kepada Pancasila, Negara Kesatuan Republik Indonesia,Bhineka Tunggal Ika serta UUD 1945 .
 Dalam konstruksi pertarungan peradaban sebagaimana thesis Samuel hutington tersebut maka fungsi kepolisian sebagai kekuatan integrator kebangsaan yang berdasarkan 4 (empat) pilar kebangsaan tersebut harus tetap dijaga  dengan melakukan berbagai kegiatan  fungsi kepolisian yang ditujukan untuk menjaga ikatan kebangsaan yang didasarkan terjaganya budaya bangsa sebagai katalisator berkembangnya budaya internasional yang begitu cepat masuk dalam ranah kehidupan individual, kelompok dan masyarakat yang dapat mengganggu tujuan dasar terbentuknya Negara kesatuan republic Indonesia.
Sebagai kekuatan pemeliharan kesatuan bangsa maka suatu keharusan bagi Polri untuk dapat menjadi organ yang tidak saja mandiri dan terbebas dari kepentingan pragmatis kekuatan dan kepentingan politik dan ekonomi tetapi juga harus mampu menunjukkan komitmen organisasi Kepolisian yang bersih, terbuka, professional dan akuntabel serta mampu menunjukan dirinya sebagai role model dari suatu organisasi Negara yang dapat dipercaya.
Demikian pula dalam era informasi dan demokratisasi fungsi kepolisianpun akan semakin kuat dan diperlukan dalam pemerintahan dan masyarakat yang beradab (Civilized Nation)[10]  yaitu dalam perspektif ”KEAMANAN UNTUK KEMANUSIAAN” yang dioperasionalkan  berdasarkan prinsip-prinsip Negara hukum (Rech staat) yang berorientasi pada hukum positif yang didasarkan kepada  suara rakyat (Vox Populi Vox Dei) yang kemudian menjadi ruh dari prinsip-prinsip demokrasi, termasuk didalamnya bagaimana masyarakat mampu menyadari dan menjalankan fungsi kepolisian tidak saja bagi dirinya tetapi juga bagi keluarga dan lingkungannya.
 Dalam penyelenggaraan fungsi kepolisian itu sendiri , Polri dan masyarakat  diharapkan harus mampu mengadopsi nilai-nilai  kemajemukan dan menyatukannya  dalam satu tujuan  yang sama.
 Demikian pula perkembangan tatanan dunia merupakan suatu kondisi yang tidak dapat dihindari. Perubahan yang begitu dinamis (Azymutal) dalam pertarungan berbagai kepentingan di dalam kemajemukan   tidak lain harus dihadapi oleh suatu aturan hukum yang mampu melindungi kepentingan nasional serta dijalankannya fungsi kepolisian secara konsisten, tegas, dan berlaku bagi semua golongan.
Demikian pentingnya fungsi kepolisian dan dinamisnya perkembangan tantangan yang perlu dijawab oleh fungsi tersebut, maka pada era milineium ke III eksistensi Bangsa dan Negara Indonesia sangat ditentukan seberapa baiknya fungsi kepolisian itu bekerja di tengah tengah masyarakat dan seberapa kuatnya Negara mendayagunakan fungsi kepolisiannya untuk mencapai tujuan Negara yang telah ditetapkan yaitu masyarakat Indonesia yang sejahtera, bersatu  dan termanusiakan.

Keamanan Kemanusian (Human Scurity) Dalam Paradigma Polri
Denzin and Lincoln (1994 : 105) mendefinisikan paradigm sebagai :” Basic belief system or worldview that guides the investigator, not only in choices of method but in ontologically and ephistomologically fundamental ways.”Pengertian tersebut mengandung makna paradigm adalah system keyakinan dasar atau cara memandang dunia yang membimbing peneliti tidak hanya dalam memilih metoda tetapi juga cara-cara fundamental yang bersifat ontologism dan epistomologis. Secara Singkat, Denzin and Lincoln (1994:107) mendefinisikan “ Paradigm as Basic Belief Systems Based on Ontological, Epistomological and Methodological Assumptions.” Paradigma merupakan system keyakinan dasar berdasarkan asumsi ontologism, epistomologis, dan methodology. Denzin and Lincoln (1994:107) menyatakan : “ A paradigm may be viewed as a set of basic belief (or metaphysics) that deals with ultimates of first principles.” Suatu paradigm dapat dipandang sebagai sperangkat kepercayaan dasar yang bersifat pokok dan utama.
Dalam bukunya The Structure Of Scientific Revolution, Thomas S Kuhn menggunakan istilah paradigm dalam dua arti yang berbeda.Disatu pihak, ia berarti keseluruhan konstelasi kepercayaan, nilai, teknik, dan sebagainya yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota masyarakat tertentu. Di pihak lain, ia menunjukkan sejenis unsure dalam konstelasi itu, pemecahan teka-teki yang konkret, yang jika digunakan sebagai model atau contoh dapat menggantikan kaidah-kaidah yang eksplisit sebagai dasar bagi pemecahan teka-teki sains yang normal yang masih tertinggal. Paradigma ialah apa yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota suatu masyarakat sains, dan sebaliknya , masyarakat sains terdiri atas orang-orang yang memiliki paradigm bersama.Bagi Kuhn , pertumbuhan dan perkembangan Ilmu pengetahuan terjadi melalui suatu proses revolusi, bukan melalui akumulasi.
Kuhn Percaya , Ilmu pengetahuan pada waktu tertentu didominasi oleh suatu paradigm tertentu, yakni suatu pandangan mendasar tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subject matter) dari suatu cabang ilmu. Normal Science adalah suatu periode akumulasi ilmu pengetahuan, dimana para ilmuwan bekerja dan mengembangkan paradigma yang sedang berpengaruh. Namun para ilmuwan tidak dapat mengelakkan pertentangan dengan penyimpangan-penyimpangan (anomalies), karena ketidak mampuan paradigm lama memberikan penjelasan secara memadai terhadap persoalan yang timbul, dan paradigm itu mulai disangsikan validitasnya. Bila krisis sudah sedemikian seriusnya, maka suatu revolusi akan terjadi, dan paradigm baru akan muncul sebagai yang mampu menyelesaikan persoalan yang dihadapi paradigm sebelumnya. Dalam periode revolusi itu akan terjadi perubahan besar dalam ilmu pengetahuan. Paradigma yang lama mulai menurun pengaruhnya, digantikan paradigm baru yang lebih dominan (Ritzer , 1985 : 3-5).
Sehubungan dengan pemahaman paradigma tersebut dan kita hubungkan dengan kedudukan, tugas dan fungsi Polri dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang dihadapkan pada kondisi perubahan peradaban tatanan masyarakat dunia yang secara lagsung dan tidak langsung mempengaruhi juga peradaban masyarakat, bangsa dan Negara Indonesia, maka perlunya pemikiran re-orientasi paradigm Polri tahap berikutnya sekaligus memperkuat posisi Peran Polri dalam pembangunan nasional di masa datang.
Jika kalau pada era orde baru penyelenggaraan fungsi kepolisian (Polri) dilaksanakan mengikuti paradigm militeristik sebagai bagian dari suatu system dimana Negara menggunakan kekuasaan berupa kemampuan menciptakan kekerasan secara massif, teratur dan memonopoli hak untuk mencipta kekerasan dalam berbagai wujudnya.
 Sekaligus ini menunjukkan bagaimana Negara yang sangat berkuasa bila dibandingkan kekuasaan yang dimiliki rakyat, yang tidak saja berupa sarana koersif dan repressive, tetapi juga sarana ekonomi; tidak sekadar berupa kewenangan birokratik, tetapi juga keahlian teknokratik; tak hanya berupa korporatisme organisasi politik dan kemasyarakatan, tapi juga ideology dan tidak saja berupa aturan berdasarkan hukum, tapi juga melalui praktek-praktek premanisme.[11]
Kenyataan sedemikian itulah yang digambarkan Louis Althusser, Negara melakukan dominasi dan penaklukan terhadap masyarakatnya tidak saja melalui kekerasan fisik (Repressive State Aparatus) tapi juga lewat produksi dan reproduksi kuasa dalam ruang cultural (tempat wawasan dan makna hidup dirajut dalam bermacam teks dan wacana yang saling berkompetisi), Althusser menyebutnya , ideological state apparatus.[12]  Dimana Polri saat itu menjadi bagian dari pelaksana kebijakan pemerintah (Sistem Negara totaliter) yang semata-mata ditujukan kepada kekuasaan pemerintah dengan mengesampingkan hak-hak dasar manusia sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk menjaga stabilitas keamanan Negara .
Saat ini yang dikatakan banyak pihak sebagai Orde Reformasi, dimana Polri secara kelembagaan dipisahkan dari TNI (ABRI) , pada April 1999 melalui instruksi presiden (inpres) No 2 Tahun 1999 tentang langkah-langkah kebijakan dalam rangka pemisahan Polri dan Abri.
Kebijakan tersebut kemudian diikuti dengan dikeluarkannya kebijakan lain berupa TAP MPR No VI tahun 2000 tentang pemisahan Polri dan TNI, dan TAP MPR No VII tahun 2000 tentang peran Polri dan TNI. Kebijakan ini mengakhiri status Polri di bawah komando ABRI selama orde baru.
Dengan demikian pemisahan strukur organisasi ini aparat kepolisian diharapkan tidak lagi tampil dalam performance dan watak yang militeristik, dan dapat bekerja professional sebagai aparat kepolisian sipil secara professional.Kalangan pemerhati reformasi kepolisian menggarisbawahi bahwa pemisahan (kemandirian) Polri dari TNI bukan merupakan tujuan, tetapi sebagai langkah dimulainya reformasi Polri. Tujuan reformasi kepolisian adalah membangun kepolisian sipil[13] yang professional dan akuntabel dalam melayani masyarakat sesuai dengan norma-norma demokrasi, menghormati HAM dan hukum internasional lainnya.
Berpijak pada semangat reformasi tersebut, perlu kiranya Polri dengan tugas pokok dan wewenangnya perlu memikirkan strategi pemolisian masa datangnya dengan mempertimbangkan berbagai resiko dari pembangunan nasional dan perubahan tatanan masyarakat bagi kepentingan nasional yang berdasarkan kepada prinsip yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945.
Polri diharapkan tidak lagi berhenti pada pembangunan citranya semata melalui program-program pragmatis melalui berbagai rumusan model perpolisian yang semata-mata ditujukan bagi pembagunan kepercayaan dan kedekatan polisi dan masyarakat, tetapi secara kelembagaan harus mampu menjadikan kepercayaan dan kedekatan dengan masyarakat sebagai titik tolak dalam upaya peran serta Polri dalam menyelamatkan masa depan bangsa dan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia  dalam bingkai pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable Development).
Salah satu hal yang dapat dipikirkan dan dapat dijadikan landasan kebijakan Polri kedepan adalah paradigm keamanan untuk kemanusian (human security) kedalam kebijakan kelembagaan dan praktek-praktek pemolisian.
Paradigma Keamanan untuk kemanusian (Human Security) untuk pertama kali menjadi perhatian dunia ketika DR Mahbub Ul Haq mengenalkannya dalam Forum United Development Program (UNDP) pada tahun 1994.
Dalam penjelasannya DR mahbud Ul Haq menjelaskan soal keamanan dalam konteks pembangunan di mana keamanan manusia menyangkut usaha mencapai kebebasan kembar (twin freedom), yaitu kebebasan manusia dari rasa takut sebagaimana dikenal dalam konsep rasa aman konvensional dan kebebasan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup (living condition). Dari sinilah mulai terjadi perubahan konsep keamanan dari yang bersifat konvensional ke non-konvensional dan kini istilah tersebut menjadi terminology pembangunan.
Menurut Hampsom (2002) pendekatan keamanan manusia (human security) menuntut perluasan wawasan keamanan yang meliputi multiphaset :
1.    Keamanan ekonomi;
2.    Keamanan Politik;
3.    Keamanan Militer;
4.      Keamanan Polisional;
5.      Keamanan Hukum;
6.      Keamanan hak azasi manusia;
7.      Keamanan Pekerjaan;
8.      Kemanan anak-anak, perempuan dan usia senja;
9.      Keamanan cultural dan agama;
10.  Keamanan Keluarga dan kediaman;
11.  Keamanan Pangan;
12.  Keamanan Kesehatan, jiwa dan bencana;
13.  Keamanan Informasi;
14.  Keamanan pendidikan;
15.  Keamanan perjalanan;
16.  Dan keamanan harta milik.
Ini artinya kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah dalam bidang tersebut mengandung kerawanan. (Bambang Widodo Umar, 2009)
Lebih lanjut hampson, memprediksi bahwa tantangan keamanan manusia di masa datang akan menyangkut masalah :
1.      Pangan, air dan udara;
2.      Ekologi;
3.      Politik;
4.      Ekonomi;
5.      Kemiskinan mayoritas;
6.      Hukum;
7.      Kriminalitas Transnasional;
8.      Hak-hak milik intelektual;
9.      Budaya Pop;
10.  Banyaknya usia lanjut;
11.  Lapangan kerja;
12.  Bencana alam dan buatan;
13.  Pecahnya keluarga;
14.  Kesehatan;
15.  Pendidikan;
16.  Radikalisasi agama;
17.  Informasi;
18.  Perang intensitas rendah dan terorisme;
19.  Keseimbangan bio massa.
Menyadari betapa kompleksnya permasalahan kemanusian ke depan dan dihubungkan dengan wewenang dan tanggung jawab Polri dalam menjalankan fungsi kepolisian dan menjadi lembaga yang bertanggung jawab terjadap keamanan dalam negeri, timbul pertanyaan, sudah siapkah Polri terhadap tantangan tersebut.
Searah dengan pemikiran diatas , sesungguhnya Polri telah mencanangkan arah reformasi dalam aspek structural, instrumental dan cultural seperti terurai di bawah ini :
1.      Perubahan dalam aspek structural meliputi (a) menjadi lembaga Negara non departemen (setingkat menteri); (b) menjadi mitra kerja komisi DPR RI;(c) kepegawaian dalam manajemen sendiri (UU No 43/1999);(d) struktur anggaran fungsi (sector sendiri);(e) pembenahan polisi berseragam dan tidak berseragam;(f) pengembangan satuan wilayah menjadi piramida-flat;(g) Polda sebagai kesatuan induk penuh;(h) titik pelayanan pada pengemban diskresi (pasal 18 UU No 2 Tahun 2002).
2.      Perubahan dalam aspek instrumental meliputi : (a) dikeluarkannya TAP MPR No 6 dan 7 Tahun 2000;(b) amandemen pasal 30 UUD 1945; (c) UU No 2 Tahun 2002;(d) PP dan Kepres;(e) Revisi 300 Juklak dan Juknis; (f) perubahan doktrin dan pedoman induk; (g) menyusun grand strategi (Renstra Polri 25 tahun).
3.      Perubahan dalam aspek cultural meliputi (a) Tri Brata; (b) Tjatur Prasetya;(c) Kode Etik Polri (pemulian profesi);(d) Filosofi pendidikan; (e) etika Staf; (f) Pedoman perilaku Polri; (g) Lagu dan Lambang (Tradisi); (h) Meminimalkan seremonial dan upacara; (i) pemberdayaan bintara dan tantama; (j) Makam kehormatan Polri (pemuliaan profesi).
4.      Likuidasi satuan Brimob dalam struktur Polri.
5.      Redefinisi Jati diri Polri melalui demiliterisasi, depolitisasi, desakralisasi, desentralisasi, defeodalisasi, dekorporatisi, debirokratisasi, deotorisasi (Budget).
6.      Upaya membangun kemandirian Polri : (a) mandiri dalam system ketatanegaraan; (b) mandiri dalam kekuatan bersenjata; (c) mandiri dalam system penyidikan pidana; (d) mandiri dalam system otonomi daerah; (e) mandiri dalam system kepegawaian; (f) mandiri dalam system anggaran; (g) mandiri dalam system politik. (Bambang Widodo Umar,2009)
Dengan momen reformasi Polri dan langkan-langkah yang telah dilakukan tersebut diatas, seyogyanya Polri mampu membaca gejala-gejala perubahan lingkungan strategisnya sebagai titik tolak dalam menjalankan fungsi kepolisiannya dan memperkuat peran Polri[14] di segala tingkatan terutamanya adalah pada tingkatan peran Polri di Tingkat Komando Operasional Dasar dan peran Kepolisian di Tingkat Kepolisian daerah dan Markas Besar dalam merumuskan berbagai kebijakan internal maupun eksternal bersama-sama dengan mitra pemerintah dan masyarakat sipil sekaligus memperkuat  fungsi  kepolisian yang didasarkan pada prinsip-prinsip polisi sipil  dimana kebijakan dan implementasinya diorientasikan pada consensus terbaik antara kepentingan masyarakat dan kepentingan Negara (pemerintah) sebagai cirri dari konsep Negara integral dalam system yang demokratis.
Pendekatan keamanan kemanusian (Human security) dapat menjadi pijakan baru dalam merumuskan kebijakan polisional kedepan mengingat situasi Negara kesatuan republic Indonesia yang terbentang dari sabang sampai dengan merauke dari pulau miangas ke pulau rote dengan jumlah populasi yang besar membutuhkan suatu pendekatan pembangunan baru yang tidak saja diorientasikan kepada kemakmuran dan kesejahteran bangsanya (dengan meningkatnya pendapatan per capita masyarakatnya ) tetapi juga perlu dipikirkan kelestarian bangsa Indonesia di masa yang akan datang yang didasarkan kepada ketaatan terhadap hukum nasional,integrasi sosial yang berdasarkan sikap nasionalisme yang sama tetapi yang terpenting adalah terjaminnya kebebasan kembar (twin freedom) yaitu rasa aman masyarakat dari rasa takut terhadap ancaman berupa fisik dan psikis tetapi juga rasa aman masyarakat terhadap ketersedian kebutuhan dasar / pokok manusia untuk hidup (living condition).
Sehingga masyarakat yang merupakan menjadi bagian terpenting dari Negara kesatuan Republic Indonesia , merasakan kemanfaatannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kedaulatan Negara yang didasarkan kepada nilai-nilai yang terkadung dalam Pancasila dan UUD 1945.






[1] Sir John Moylan (1953 : 4) menjelaskan bahwa di perancis sejak abad XVI fungsi kepolisian menjadi bagian dari fungsi pemerintahan selain fungsi defense, diplomasi, finansi dan yustisi.Demikian pula dengan Konsep Tjatur Praja Van Vollen Hoven Fungsi kepolisian menjadi bagian dari 4 (empat Fungsi pemerintahan) yaitu Bestuur,Politie,Rechtspraak dan Regeling. (Momo Kelana, Hukum Kepolisian Indonesia, Satuan Acara Perkuliahan , PTIK, Jakarta 1994).
[2] Amandemen Ke 2 UUD 1945Bab XII Pasal 30 :
Ayat 3 : Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara sebagai alat Negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan Negara;
Ayat 4 : Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat Negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta meneggakkan hukum.
[3] Dimensi Fungsi Kepolisian dibagi 3 (tiga) yaitu dimensi politis yaitu fungsi kepolisian yang diemban oleh lembaga tinggi Negara dalam rangka pengawasan politis;dimensi yuridis yaitu fungsi kepolisian umum (Polri) dan fungsi kepolisian khusus (selain Polri sesuai undang-undang); Dimensi sosiologis yang diemban oleh badan-badan yang secara swakarsa dibentuk oleh tumbuh dan berkembang dalam tatanan kehidupan masyarakat. (Momo kelana, 1994)
[4] Partisipasi masyarakat inipun menjadi bagian yang ditegaskan dalam UUD 1945 amandemen ke 2 Bab XII ayat 1 yang berbunyi “ Tiap-tiap warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan Negara.
[5] Secara filsafati :Polisi adalah fungsi dari masyarakat dan perkembangan masyarakat sehingga perpolisian bersifat progresif yang setiap saat melakukan penyesuaian (adjustment) terhadap perubahan dan perkembangan masyarakat yang dilayaninya. (Momo Kelana;1994)
[6] Tentang Hal ini , Negara kembali menegaskan betapa pentingnya Hak Asasi Manusia sebagaiman dituangkan alam UUD 1945 Amandemen Ke 2 Bab XA Pasal 28A yang berbunyi “ Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
[7] The African-United Nation Hybrid Operation In Darfur (UNAMID) is a Joint African Union and United Nations Peace Keeping Mission formarly approved by united nations security council resolution 1769 on July 31, 2007, to bring stability to the wartorn darfur region of Sudan while peace talks on a final settlement continue.The mandate is for a forced by combination of military personnel,Police Personnel, and Civilian personnel. ( United Nation-African Union Mission in Darfur, Wikipedia)
[8] Andry Wibowo, Catatan kuliah “Conflict Management, Centre Of Excellent, Caribeneiri, Italia, 2007.
[9] Fungsi Kepolisian dalam dimensi yuridis dibedakan dalam fungsi kepolisian umum yang dilaksanakan oleh Polri sebagai lembaga pemerintahan dan Fungsi Kepolisian Khusus yang memiliki tugas administrative khusus sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya. Fungsi kepolisian kemudian dijabarkan dalam bentuk tugas-tugas di setiap tataran fungsi yang merupakan lingkup kompetensi tertentu yang meliputi tataran fungsi preventive (langsung + Tidak Langsung /Pre-emtive) dan Represive (Yustisial dan Non Yustisial).(Momo Kelana :1994)


[10] Mengacu kepada teori Gramsci, dalam bukunya Selection from The Prison Notebooks (1971) memperkenalkan apa yang disebut dengan konsep negara integral. Dimana konsep ini memadukan antara kekuatan masyarakat politik (Negara) dan masyarakat sipil (etika dan moral).Negara Integral merupakan hasil perpaduan antara sumber koersi dalam msyarakat dan tempat kepemimpinan hegemonic. Negara Integral merupakan hegemoni yang dilapisi selubung kekuasaan koersi. Hegemoni sekalipun bekerja di tingkat kesadaran namun selalu didampingi langkah koersi. Dengan demikian Negara integral memiliki dua aspek . Pertama alat-alat kekerasan (means of coercion) dan kedua alat penegakkan kepemimpinan hegemonic (means of establishing hegemonic leadership), seperti pendidikan, media massa, agama, penerbitan, dan lainnya. Alat kekerasan terdiri dari alat paksa dan represi Negara, sedangkan alat pendirian kepemimpinan hegemoni merujuk pada institusi dalam formasi sosial yang buka organisasi Negara, seperti organisasi komunikasi, olah raga, perkumpulan pemuda, dan sebagainya. Meski antara hegemoni dan koersi terus berjalan berdampingan, namun Negara integral berbeda dengan Negara totaliter. Sebab dalam Negara totaliter tak ada unsure sukarela, hanya paksaan. Sedangkan Negara integral masih menyediakan peluang menghasilkan consent sukarela tanpa paksaan. (Hotman M Siahaan, 2005)
[11] Dr Hotman M Siahaan,Paradigma Perpolisian Komunitas: Mengantisipasi Konflik Sosial Pemilu Kepala Daerah,Orasi Ilmiah, Dies Natalis PTIK ke 59, 2005.
[12] Althusser dalam pembahasannya tentang Negara sebagai mesin represi---seperti kelompok marxisme-orthodox. Selalu mengacu pada kesatuan perangkat kenegaraan (state apparatus). Yang harus dibedakan dengan kekuasaan Negara (state power). Negara adalah identik dengan repressive power.
[13] Beberapa Pengertian polisi sipil antara lain :
1.       Polisi Sipil menghormati hak-hak sipil; masyarakat demokratis membutuhkan polisi sipil yang mampu berperan sebagai pengawal nilai-nilai sipil. Nilai-nilai ini telah dirumuskan dalam hak azasi manusia yang dijamin sebagai hukum positif Negara (The Guardian Of Civilian Values);
2.       Pengertian sipil secara diametral jauh dari karakteristik militer sejalan dengan difinisi yang diangkat dalam perjanjian hukum internasional yang meletakkan kedudukan polisi sebagai kekuatan yang tidak terlibat perang (Non Combatans), sementara militer didesain untuk berperang (combatan).Fungsi kepolisian ditujukan untukmenciptakan keamanan dalam negeri, ketertiban dalam masyarakat, pelayanan dan bantuan kepada masyarakat, penegakkan hukum dan pemolisian masyarakat (community policing). Dan kualitas polisi sipil diukur dari kemampuannya untuk menjauhkan diri dari karakter militer dan mendekatkan diri kepada masyarakat.
3.       Polisi sipil berbeda dengan polisi rahasia. Polisi sipil mengabdi kepada kepentingan masyarakat yang merupakan pemilik kedaulatan, mempunyai karakteristik sebagai polisi masyarakat yaitu polisi yang menjadi pelindung dan pengayom bagi masyarakat. Dalam karakter ini, polisi harus mewujudkan pola kerja yang menyalami, ,merangkul dan menyayangi masyarakat (police who cares), mengedepankan penggunaan komunikasi kepada masyarakat, tidak mengandalkan peluru tajam. Kebalikannya polisi rahasia adalah polisi yang taat dan patuh dan mengabdi pada kepentingan politik penguasa yang sering berbeda dengan kepentingan masyarakat. Sebagai komponen yang penting dalam system pemerintahan yang otoriter, polisi rahasia sering dilekatkan dengan tindakan yang repressive, pengekangan kebebasan kepada masyarakat , penangkapan semena-mena bahkan penyiksaan. Konsepsi tentang polisi rahasia juga sering dilekatkan dengan polisi Negara atau state police.Reformasi Kepolisian Republik Indonesia, Institues For Defense Security and Peace Studies.
[14] Peran Kepolisian (POLRI):
Secara Filosofis : Mewujudkan Masyarakat Tata Tentram Kerta Raharja;
Secara Politis dan Yuridis :
-           Sebagai Alat Negara Dalam Memelihara Kamtibmas; Meneggakkan Hukum; Melindungi,Melayani Masyarakat dalam Rangka Pemeliharaan Keamanan Dalam Negeri.
-          Sebagai Kepolisian Nasional
-          Peran Lain Sesuai Ketentuan Lain. (Momo Kelana, Hukum Kepolisian, Bahan Pelajaran Kuliah PTIK, 2004)