Keamanan Kemanusian (Human Security) Dalam Paradigma Perpolisian
Guna Mengoptimalkan Fungsi dan
Peran Polri
Dalam Menghadapi Fenomena Perubahan
Peradaban Bangsa
Oleh
AKBP ANDRY
WIBOWO,SIK,MH,MSI
Sejak
abad ke 16 di eropa fungsi kepolisian (Police Power) telah menjadi fungsi
pemerintahan tersendiri disamping fungsi pertahananan (defense), Hubungan Luar
Negeri (diplomatic), Keuangan (financial) dan peradillan (yustisi)
dimana kepolisian pada waktu itu adalah fungsi urusan dalam negeri yang
meliputi urusan keamanan dan kesejahteraan rakyat.
Maka
dari itu pemisahan organ kepolisian dari organ militer sebagai bagian dari
reformasi (penataan ulang) pembagian kekuasaan negara yang terjadi di Indonesia
seolah-olah mempertegas perlunya kemandirian organ kepolisian yang terpisah dan
berbeda dari organ militer.Maka dari itu dan selanjutnya , tentunya secara
ideologis dan hakekat fungsi masing-masing diharapkan tidak akan terjadi lagi upaya penggabungan
organ kepolisian kepada organ militer di masa yang akan datang.
Untuk
itulah kemudian didasarkan kepada amandemen ke 2 dari UUD 1945 dan penetapan UU
No 2 Tahun 2002 Polri menjadi organisasi yang mandiri dan terlepas dari ABRI.
Selanjutnya kebijakan dan program reformasi Kepolisian ditetapkan dan
diimplementasikan yang meliputi penataan kembali struktur kepolisian dari
tingkat Markas Besar sampai dengan Tingkat Komando Operasional Dasar, Instrumental
yang bebagai peraturan kepolisian di bidang operasional maupun pembinaan serta
reformasi tata laku yang menyangkut budaya organisasi dalam menjalankan amanat
UU Kepolisian tersebut.
Polri
dengan Fungsi kepolisian umumnya(selanjutnya
:fungsi kepolisian ) kemudian terus tumbuh dan berkembang sebagai bagian dari
Alat Kekuasaan Pemerintahan (executive
Power) atau setidak-tidakya pelaksana kebijakan pemerintahan sebagai
suatu kewajiban dari Negara dalam menyelenggarakan suatu kegiatan
kepolisian yang mampu mendorong terwujudnya suatu perasaaan aman bagi masyarakat
dan tegaknya aturan-aturan hukum yang hidup dan tumbuh di masyarakat sebagai
wujud dari suatu ketertiban yang ditandai dengan adanya keteraturan dan harmoni
sosial (Social Order and social Cohesiveness) serta tertanganinya
secara baik berbagai bentuk gangguan
terhadap stabilitas kamtibmas melalui kegiatan Polri
di bidang pemeliharaan kamtibmas, penegakkan hukum, perlindungan, pengayoman,
dan pelayanan kepada masyarakat termasuk kemampuan masyarakat berpartisipasi
dalam bidang Kamtibmas.
Rasa
aman dan kebutuhan akan suasana damai yang didasarkan kepada stabilitas situasi keamanan dan ketertiban
masyarakat tersebut mutlak dibutuhkan
oleh negara maupun masyarakat yang hidup dalam wilayah indonesia bahkan
saat ini menjadi kebutuhan masyarakat internasional dalam rangka terjaminnya
pertumbuhan dan keberlangsungan kehidupan bersama antar manusia (Human
Kind) maupun antar warga Negara (Inter Nationality) ,karena dalam era
kerjasama global saat ini instabilitas suatu Negara akan mempengaruhi
stabilitas kawasan yang tentunya akan menjadi perhatian komunitas internasional.
Sehingga secara universal organ dan fungsi kepolisian itu menjadi organ dan fungsi strategis yang
dibutuhkan oleh peradaban manusia.
Untuk
itulah kemudian organ dan fungsi
kepolisian diatur nilai-nilai universalnya dalam United Code Of Conduct For Law
Enforcement 1979 serta berbagai peraturan internasional lainnya yang
relevan dan mengikat bagi organ
kepolisian di seluruh dunia termasuk bentuk kerjasama antar organ
kepolisian negara.
Sebagai
bagian dari fungsi pemerintahan negara, fungsi Polri di dalam Negara Kesatuan Republic
Indonesia secara umum juga memiliki
fungsi yang sama dengan fungsi kepolisian di Negara lainnya yaitu Sebagai alat Negara dalam menjalankan fungsi pemerintahan (executive power) dalam
menjamin kondisi kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara yang aman dan tertib.
Dalam
salah satu pasal dari UU no 2 Tahun 2002 itu dinyatakan :
“
Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat Negara yang berperan dalam
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum serta
memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam
rangka terpeliharannya keamanan dalam negeri “.
Dalam
sejarah bangsa Indonesia , fungsi kepolisian inipun secara historis telah ada dan
berkembang dalam kehidupan masyarakat tradisional yang berdasarkan
kesukubangsaannya seperti pecalang di Bali , semi State organized people dalam masa
kerajaan (Monarchy system) dan
masa-masa colonial .
Mengenai
hal ini dalam amanedemen UUD 1945 Pasal 18 B dinyatakan juga bahwa “Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia , yang diatur dalam
Undang-undang”.
Hal
ini menunjukkan bahwa fungsi kepolisian sesungguhnya juga menjadi bagian fungsi
yang penting tidak saja bagi otoritas kekuasaan yang memiliki tanggung jawab mengelola
pemerintahan dan kepentingan politik
kekuasaan, tetapi hakikinya juga menjadi bagian dari fungsi masyarakat dalam rangka terjaganya keamanan dan tegaknya
aturan di suatu lingkungan sosial masing-masing berdasarkan norma-norma yang
hidup di komunitasnya (Community Security and Discipline) termasuk
menjaga eksistensi suku bangsanya dari ancaman suku bangsa lainnya.
Fungsi
kepolisian yang demikian penting dalam tatanan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara tersebut dalam prakteknya selalu dihadapkan kepada
suatu situasi dinamis dari berbagai dimensi kehidupan masyarakat, berbangsa dan
bernegara yang sangat dipengaruhi oleh berbagai kondisi yang mempengaruhi
situasi tersebut.
Kondisi
tersebut dapat berupa berbagai peristiwa yang terjadi sebagai akibat dari
perilaku manusia (Human Behaviour) dalam bentuk berbagai kejahatan (Crime)
dan penyimpang perilaku lainnya (deviance
behaviour), Peristiwa alam (environmental phenomena) dalam
bentuk bencana alam maupun perkembangan ilmu pengetahuan (science phenomena) yang
telah mendorong berbagai perubahan perilaku manusia yang memberikan dampak kepada
peradaban manusia dan tidak sedikit
perubahan peradaban tersebut menimbulkan permasalahan baru yang tidak pernah kita
pikirkan sebelumnya.
Kondisi tersebut berakibat kepada tuntutan bekerjanya
organ dan fungsi kepolisian dalam
merespons dinamika perubahan tersebut termasuk didalamnya merupakan verifikasi terhadap efektifitas
bekerjanya organ dan fungsi Kepolisian Negara republic Indonesia
sebagaimana amanah konstitusinya yang tertuang dalam UUD 1945 Amandemen ke 2 dan
UU No 2 tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
Maka
dan selanjutnya dapat dipastikan organ dan
fungsi kepolisian tersebut akan
terus berubah dan berkembang termasuk
model-model perpolisiannya mengikuti perubahan
kondisi masyarakat dan lingkungannya sebagai wujud operasionalisasi kewajiban
Negara untuk tetap menjamin suatu keamanan dan ketertiban masyarakat sebagai
bagian dari kewajiban konstitusi dari Negara.
Hal
ini juga sejalan dengan pemikiran Jeremy Bentham salah seorang penggagas ajaran
utilittarianisme yang menyatakan bahwa hukum adalah alat manusia yang dibuat
oleh manusia itu sendiri , karena itu setiap saat mestinya berubah berdasarkan
kebutuhan masyarakat. Apakah hukum itu baik atau tidak, mestinya tidak ada
hubungan dengan sejarah , tetapi merupakan konsekuensi dari apa yang dinilai
secara rasional dan empiris serta dievaluasi berdasarkan criteria kebahagian
terbesar dari jumlah yang terbanyak (Scott Gordon , 1991 : 113).
Fenomena Dunia DI Era Milenium Ke III dan Ancaman Terhadap
Kepentingan Nasional
Abad
Ke 21 saat ini yang dikatakan sebagai era millennium ke III merupakan abad
dimana perkembangan teknologi informasi di dunia maya (Cyber Era) begitu pesat
dan menglobal sebagai kekuatan pendorong (Driving Force) berbagai perubahan
tatanan dunia ke dalam satu kesatuan informasi.
Kesatuan informasi (integrated Information)
berdampak pada loncatan perubahan pola pikir (mind set quantum change)
yang diikuti pola tindak (culture change)dan mempercepat
terjadinya akulturasi budaya bangsa-bangsa (global culture acceleration )
yang mendorong evolusi peradaban manusia dari masyarakat industri menuju
masyarakat informasi termasuk juga mendorong revolusi di bidang politik yang
mengubah arah system politik di suatu negara.
Akulturasi
budaya bangsa-bangsa tidak saja berdampak kepada perubahan budaya suatu bangsa
ke arah yang bersifat konstrukstif seperti revitalisasi di bidang hak-hak dasar
manusia
yang mendorong penguatan kualitas hidup manusia, solidaritas global (Global
Solidarity) yang mendorong peningkatan kerja sama di segala bidang
berdasarkan tujuan bersama dalam menjaga harmoni dunia (Global Harmony), tetapi juga ke arah destruktif sebagai akibat
dari konflik peradaban (Civilization Conflict) yang
dilahirkan dari berbagai perbedaan nilai dan cara pandangnya serta
penyalahgunaan media informasi sebagai alat kejahatan seperti terorime, propaganda global, serta berbagai kejahatan
yang berdimensi lintas negara (trans national crime) yang
mengakibatkan penyebaran kejahatan hampir merata di seluruh dunia (Global
spread of Criminalization) sampai dengan new dimension of war yang
melibatkan kekuatan militer melawan
kekuatan sipil bersenjata seperti yang terjadi dalam perang terorisme (War
on Terrorism) yang dilakukan oleh Amerika dan sekutunya di Afganistan
dan keterlibatan kekuatan kepolisian dalam bentuk Hybrid operation dalam peace
keeping operation sebagaimana dilakukan di berbagai Negara yang
mengalami internal state conflict.
Sehubungan
dengan hal tersebut Samuel P Hutington
dalam bukunya “The Class of civilization”
memberikan kepada kita suatu hypotesa ilmu politiknya di “American Enterprise Institute” 1992 yang
menyatakan bahwa pada era abad ke 21 khususnya pasca perang dingin antara blok
timur yang mengusung paham sosialisme (komunisme) dengan blok barat yang
mengusung faham demokrasi (liberalism/kapitalisme), dunia akan menghadapi suatu
era yang disebutnya adalah pertarungan peradaban.
Dinyatakan
olehnya bahwa pasca perang dingin dunia akan dipenuhi oleh konflik yang
didasari pada perbedaan identitas budaya maupun keagamaan.Adapun thesis
tersebut disampaikan secara lengkap sebagai berikut :” It is my hypothesis that the
fundamental source of conflict in this new world will not be primarily
ideological or primarily economic. The Great Divisions among humankind and
dominating source of conflict will be cultural. Nations states will remain the
most power full actors in world affairs, but the principal conflicts of global
politics will occur between nations and groups of different civilizations. The
clash of civilizations will dominate global politics. The fault lines between
civilizations will be the battle lines of the future”.
Dengan
merujuk kepada thesis hutington tersebut maka beberapa konflik dan perpecahan
suatu bangsa dalam suatu Negara terjadi di berbagai belahan dunia seperti
terpecahnya Negara Yugoslavia menjadi beberapa Negara baru yang didasarkan pada
hegemoni budaya tertentu baik didasarkan agama maupun cirri-ciri ras dan atau
nilai-nilai budaya lainnya yaitu kroasia (Katolik roma),Serbia (Kristen
orthodox), dan bosnia Herzegovina (islam
turki) termasuk uni soviet serta
beberapa bangsa di dunia (Sudan,Irak, Afganistan,Haiti,Ethiopia) termasuk di
Indonesia yaitu konflik ambon dan poso yang diintervensi oleh kelompok asing (aliens
interventions) yang berbasis pada radikalisme menggunakan agama
tertentu yang ditujukan untuk meniadakan Negara Kesatuan Republik Indonesia
untuk dirubah dalam bentuk Negara agama.
Merujuk
kepada teori Samuel p Hutington tersebut maka beberapa ancaman terhadap
kepentingan nasional yang perlu kita identifikasi dan sikapi :
1.
Fault Line
Conflict : Konflik
antar suku bangsa yang terjadi di dalam suatu Negara.
Sebagaimana
kita ketahui Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara Kepulauan yang
membentang dari Sabang sampai Merauke dan Pulau Miangas sampai dengan Pulau
Rote yang terdiri dari hampir 12.000 an pulau. Pada era majapahit dengan patih gadjah mada (Perdana Menteri) Kerajaan Majapahit pada
saat itu menyebut rankaian kepulauan ini sebagai nusantara yang kemudian oleh
Dr Douwes Dekker (1920) nama nusantara ini mulai diperkenalkan kembali pada era
yang berbeda dan dimaknai sebatas pada teritori dari sabang sampai dengan
merauke dan pulau miangas dampai dengan pulau rote. Dalam perjalanan sejarah
bangsa Indonesia yang mendiami kepulauan nusantara tersebut dipengaruhi oleh
berbagai pengaruh yang mempengaruhi budaya bangsa dan suku bangsa yang mendiami
nusantara. Pengaruh tersebut meliputi beberapa aspek :
a.
Budaya asli
suku bangsa yang ada di nusantara yang jumlahnya hampir sama dengan jumlah suku
bangsa di nusantara;
b.
Budaya yang
dipengaruhi oleh system pemerintahan feudal (monarki) yang ada dalam kelompok
social di nusantara pada era kerajaan;
c.
Budaya yang
dipengaruhi oleh datangnya agama-agama besar (Islam,Nasrani,Hindu,Budha);
d.
Budaya yang
dibawa oleh orang asing baik akibat kolonialisasi maupun perdagangan;
e.
Budaya
Internasional sebagai akibat modernisasi dan pembangunan;
f.
Hukum dan Per
Undang-undangan yang mengikat Warga Negara Indonesia atau system pemerintahan
yang dijalankan oleh Negara;
Negara yang demikian luas dan besar
serta memiliki populasi 240 juta orang, maka Negara kesatuan republic Indonesia
merupakan salah satu Negara yang memiliki potensi konflik antar suku bangsa
yang cukup tinggi. Beberapa kasus yang lalu seperti konflik etnis Madura dan
etnis dayak di Kalimantan pada era 1990an merupakan salah satu fakta bahwa
keanekaragaman budaya dan agama serta keyakinan yang ada di dalam masyarakat
Indonesia merupakan factor kriminogenik yang berpotensi terjadi perselisihan
antar suku bangsa atau peradaban yang didasarkan pada identitas kesuku
bangsaannya.
2.
Core State
Conflict : Konflik antar
Negara yang didasarkan kepada perbedaan peradaban
Dalam
dunia yang semakin terbuka akibat dari perkembangan digitalisasi di bidang
informasi (Cybernetic Era) maka arus informasi yang berkembang di
masyarakat akan semakin massive dan cepat. Pengaruh informasi tersebut akan
mempengaruhi pola pikir dan pola tindak masyarakatnya. Akibatnya maka potensi
konflik antar Negara yang didasarkan kepada perbedaan peradaban makin terbuka
peluangnnya untuk terjadi. Radikalisme yang didasarkan kepada fundamentalisme
agama telah menjadi titik picu terjadi konflik di berbagai Negara.
Diawali
dengan terorisme di gedung WTC yang disebut dengan peristiwa 9/11 maka timbulah
perang Iraq dan afganistan yang melibatkan pasukan mutli internasional yang
dipimpin Amerika Serikat melawan militant islam yang dipimpin oleh Osama Bin
Laden. Begitupun terorisme di Negara Indonesia telah mengakibatkan orang asing
(Amerika dan Sekutunya) serta fasilitas-fasilitas yang ada di Negara sasaran
menjadi target terorisme tersebut. Terorisme saat ini tidak saja menjadi
persoalan kejahatan yang bersifat transnasional tetapi juga merupakan wajah
dari konflik peradaban di era milineum ke III.
Selain
terorisme dunia pun tetap diwarnai dengan berbagai konflik yang disebabkan oleh
perebutan teritori dalam rangka pengaruh politik dan pengaruh hegemoni ekonomi
berupa penguasaan sumber daya alam.
Yang
juga perlu kita waspadai saat ini adalah perkembangan organisasi kejahatan yang
bersifat internasional. Berdasarkan isu yang berkembang di dunia internasional
Perserikatan Bangsa-bangsa mencatat bahwa organisasi kejahatan internasional
menguasai hampir sepertiga asset dunia.
Maka
tidaklah heran untuk menjaga eksistensi keberadaan organisasi kejahatan yang
ada maka konflik antar peradaban dapat digunakan sebagai sarana organisasi ini
untuk memperluas pengaruh dan kekuatan organisasinya dengan menularkan berbagai
perilaku yang menyimpang dan mengadu domba antar peradaban satu dengan
peradaban lainnya bahkan dengan nilai nilai kebangsaan yang dianut oleh suatu
Negara.
Pada era millennium ke III dunia
juga disibukkan pada persoalan perubahan iklim global yang berdampak pada
berbagai persoalan kehidupan manusia yang diakibatkan oleh terjadinya berbagai
bencana alam. Perubahan iklim dunia merupakan residu dari berbagai persoalan
salah satunya adalah akibat dari ledakan populasi dunia dan pembangunan yang dilaksanakan
oleh berbagai Negara yang berdampak pada rusaknya berbagai ekosistem dunia.
Populasi dunia telah mengakibatkan
meningkatnya kebutuhan akan lahan untuk pemukiman, lahan untuk pangan serta
berbagai kebutuhan manusia baik primer, sekunder maupun tertier. Ledakan
penduduk dunia dan berbagai pembangunan yang dilaksanakan juga berdampak pada
peningkatan penggunaan energy yang masih didominasi oleh energy minyak bumi
maupun energy primer lainnya yang tentunya energy ini akan semakin menipis
bahkan punah .
Pemanfaatan sumber daya alam
tersebut secara berlebihan tanpa adanya suatu system pemanfaatan yang baik
berdampak pada cepat rusaknya ekosistem kehidupan yang mengganggu keseimbangan
alamiah dari ekosistem dunia itu sendiri.sebagai akibat yang nyata adalah
terjadinya berbagai bencana alam yang berdampak pada bencana kemanusiaan di
berbagai belahan dunia.
Demikian pula dampak social dari
pembangunan tentunya selain mendorong suatu kehidupan yang lebih bermartabat
dan sejahtera tetapi juga akan
melahirkan kelompok yang saling berhadapan yaitu antara kelompok superior yang
menguasai satu atau lebih sector ekonomi maupun kekuasaan formal dan informal
dimana tidak sedikit bahwa penguasaan tersebut tidak terlepas dari perilaku
koruptif baik yang dilakukan oleh pelaku ekonomi, legislative, penegakkan hukum
maupun unsure-unsur dalam pemerintahan dengan kelompok marginal dengan segala
persoalan social yang menyertainya maka tidak heranlah persoalan dunia kedepan
juga akan diwarnai oleh berbagai peningkatan angka kejahatan konvesional serta kelompok perlawanan (inferior) yang
akan tetap menjadi bagian dari suatu dinamika kehidupan bermasyarakat sebagai
dampak hilangnya hak-hak hidup masyarakat akibat dari ketidak adilan di segala
bidang termasuk tumbuh dan berkembangnya gerakan pemisahan diri.
Fenomena berikutnya adalah
berkembanganya nilai-nilai demokratisasi yang mendorong tumbuh dan
berkembangnya keberanian menyampaikan pendapat serta kritik maupun apresiasi.
Demokratisasi dan media informasi menjadi kekuatan baru dalam mengendalikan
masyarakat maupun kekuasaan. Kekuasaan Negara
tidak lagi bersifat absolute tetapi kekuasaan atas masyarakat telah
terdistribusi dalam kelompok-kelompok kekuatan yang mempengaruhi masyarakat berdasarkan
berbagai tipologinya baik yang didasarkan kepada kepentingan ekonomi, politik,
social dan budaya, maupun ideology dan kekuatan ini tidak lagi tersentralistik
pada suatu fokus tetapi terdistribusi dimana saja di belahan Negara di dunia
seperti halnya munculnya osama bin laden
yang mampu mempengaruhi dan mengendalikan berbagai kelompok gerakan
fundamentalis islam di seluruh dunia begitupun kartel dan mafia kejahatan terus
mengembangkan daerah operasinya tidak saja di Negara dan kawasannya tetapi di
seluruh dunia termasuk jaringan organisasi nir laba (Lembaga Swadaya
Masyarakat) yang berbasis pada kepentingan internasional.
Media informasi saat ini juga
telah menjadi media yang sangat penting dalam mempengaruhi konstruksi
sosial masyarakat termasuk mempengaruhi berbagai kebijakan kekuasaan politik.
Hampir tidak ada satu wilayah yang steril dari intervensi media informasi.
Tidak saja kerahasian Negara (State Secrecy) tetapi juga kehidupan
pribadi seseorang dapat dengan mudah menjadi konsumsi pembicaraan public tidak
saja sebagai komoditas informasi belaka tetapi sudah menjadi komuditas ekonomi
khususnya bagi pemilik dari perusahaan-perusahaan informasi yang tidak sedikit
memiliki agenda setting tersendiri.
Media informasi setiap saat dapat
mempublikasikan berbagai potret sosial yang ada di masyarakat dalam bentuk
komoditas informasi. Visualiasi potret sosial yang kemudian menjadi pesan yang
ditangkap oleh audiens, secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi sikap
dan persepsi masyarakat terhadap berbagai potret sosial yang digambarkan oleh
media informasi tersebut termasuk sikap
dan persepsi terhadap citra Polri.
Fungsi
Kepolisian
Di Era Milineum ke III
Abad
ke 21 tentunya akan terjadi banyak perubahan di dalam tatanan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tetapi perubahan itu tidak akan merubah
tujuan dasar terbentuknya suatu Negara yaitu menegakkan kedaulatan nasional
guna memberikan kesejahteraan bagi seluruh warganya.
Hal
ini sebagaimana amanat pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi
“….kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah
kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara
Indonesia, yang terbentuk dalam susunan Negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta
dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia..”.
Bertititik
tolak pada prinsip dasar tersebut serta tujuan dasar diselenggarakannya fungsi
kepolisian sejak abad ke 17 maka fungsi kepolisian pada era milinium ke III
khususnya dalam wadah Negara yang berdasarkan demokrasi sebagai cara memerintah
(forma imperii) dan dalam bentuk
republic (forma regiminis) memiliki fungsi yang utama dalam menjaga
harmonisasi antara kepentingan yang lahir dari munculnya gejala-gejala
kekuasaan di masyarakat yang saling bertentangan satu dengan lainnya sekaligus
mengintegrasikan dan mengorganisir manusia dan golongan-golongan ke arah yang
tercapai tujuan dari masyarakat seluruhnya.Pengendalian ini dilakukan dalam
system hukum dan dengan perantara pemerintah beserta segala alat-alat
perlengkapannya.
Dalam
rangka menunjang pembangunan nasional menuju masyarakat yang terjaganya hak
dasar manusianya,Polri dengan penyelenggaraan fungsi kepolisiannya dihadapkan kepada
tuntutan untuk mampu menjamin terselengaranya pembangunan nasional yang tidak
saja diperuntukkan untuk kepentingan jangka pendek tetapi juga harus mampu
menjangkau kepentingan jangka panjang serta tidak saja menjaga kepentingan
Negara (pemerintah) tetapi juga masyarakat.
Pembangunan nasional dalam jangka pendek dan sedang tentunya difokuskan
kepada terjaminnya suatu aktifitas industrial sebagai penggerakan utama ekonomi
bangsa sehingga kegiatan-kegiatan ekonomi tersebut dapat terselenggara
sebagaimana mestinya tanpa adanya gangguan yang dapat menghambat dinamika
industrialisasi perekonomian masyarakat di segala sector.Dampak dari
bergerakannya industry tersebut maka ekonomi masyarakat akan tumbuh secara
sehat dan standar hidup minimal dapat dicukupi.
Sedangkan
fungsi kepolisian dalam menjaga terjaminnya pembangunan ekonomi jangka panjang
yaitu terjaganya sumber-sumber daya alam yang ada sebagai sumber pokok kehidupan
masyarakat secara lestari dan dapat bermafaat bagi kepentingan masyarakat di
masa datang. Fungsi kepolisian akan memainkan peran bagi pengawasan terhadap penggunaan
sumber daya alam yang bermanfaat secara tertib dan mencegah terjadi eksploitasi
secara berlebihan tanpa memperhatikan resiko terganggunya ekosistem kehidupan
baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Perambahan
hutan dan penambangan sumber daya alam secara massive tanpa control dan
penataan yang baik serta semata-mata
hanya ditujukan bagi kepentingan nilai ekonomi tanpa memperhatikan kepentingan
kemanusian lainnya akan berdampak pada percepatan terjadinya bencana kemanusian
berupa kelaparan, pemanasan global, migrasi manusia yang akan berpotensi
terjadinya konflik komunal dan
terjadinya perang di dalam negara , punahnya ekosistem lainnya serta menipisnya
harapan hidup generasi berikut sebagai akibat hilangnya potensi pendukung
kehidupan masyarakat di masa datang.
Demikian
pula fungsi kepolisian akan menentukan kekuatan Integrasi bangsa dimana di awal
sejarah berdirinya bangsa ini integrasi itu diawali dengan satu sikap yang sama yaitu senasib
atas tindakan koloniliasasi yang dilakukan oleh belanda maupun jepang serta adanya
tekad untuk kemandirian bangsa yang didasarkan kepada ikatan kebangsaan yang
sama yang didasarkan kepada Pancasila, Negara Kesatuan Republik
Indonesia,Bhineka Tunggal Ika serta UUD 1945 .
Dalam konstruksi pertarungan peradaban
sebagaimana thesis Samuel hutington tersebut maka fungsi kepolisian sebagai
kekuatan integrator kebangsaan yang berdasarkan 4 (empat) pilar kebangsaan
tersebut harus tetap dijaga dengan
melakukan berbagai kegiatan fungsi
kepolisian yang ditujukan untuk menjaga ikatan kebangsaan yang didasarkan
terjaganya budaya bangsa sebagai katalisator berkembangnya budaya internasional
yang begitu cepat masuk dalam ranah kehidupan individual, kelompok dan
masyarakat yang dapat mengganggu tujuan dasar terbentuknya Negara kesatuan
republic Indonesia.
Sebagai
kekuatan pemeliharan kesatuan bangsa maka suatu keharusan bagi Polri untuk
dapat menjadi organ yang tidak saja mandiri dan terbebas dari kepentingan
pragmatis kekuatan dan kepentingan politik dan ekonomi tetapi juga harus mampu
menunjukkan komitmen organisasi Kepolisian yang bersih, terbuka, professional
dan akuntabel serta mampu menunjukan dirinya sebagai role model dari suatu
organisasi Negara yang dapat dipercaya.
Demikian
pula dalam era informasi dan demokratisasi fungsi kepolisianpun akan semakin
kuat dan diperlukan dalam pemerintahan dan masyarakat yang beradab (Civilized
Nation)
yaitu dalam perspektif ”KEAMANAN UNTUK KEMANUSIAAN” yang
dioperasionalkan berdasarkan prinsip-prinsip
Negara hukum (Rech staat) yang berorientasi pada hukum positif yang didasarkan
kepada suara rakyat (Vox Populi Vox Dei)
yang kemudian menjadi ruh dari prinsip-prinsip demokrasi, termasuk didalamnya
bagaimana masyarakat mampu menyadari dan menjalankan fungsi kepolisian tidak
saja bagi dirinya tetapi juga bagi keluarga dan lingkungannya.
Dalam penyelenggaraan fungsi kepolisian itu
sendiri , Polri dan masyarakat
diharapkan harus mampu mengadopsi nilai-nilai kemajemukan dan menyatukannya dalam satu tujuan yang sama.
Demikian pula perkembangan tatanan dunia
merupakan suatu kondisi yang tidak dapat dihindari. Perubahan yang begitu
dinamis (Azymutal) dalam pertarungan berbagai kepentingan di dalam
kemajemukan tidak lain harus dihadapi
oleh suatu aturan hukum yang mampu melindungi kepentingan nasional serta
dijalankannya fungsi kepolisian secara konsisten, tegas, dan berlaku bagi semua
golongan.
Demikian
pentingnya fungsi kepolisian dan dinamisnya perkembangan tantangan yang perlu
dijawab oleh fungsi tersebut, maka pada era milineium ke III eksistensi Bangsa
dan Negara Indonesia sangat ditentukan seberapa baiknya fungsi kepolisian itu
bekerja di tengah tengah masyarakat dan seberapa kuatnya Negara mendayagunakan
fungsi kepolisiannya untuk mencapai tujuan Negara yang telah ditetapkan yaitu
masyarakat Indonesia yang sejahtera, bersatu
dan termanusiakan.
Keamanan Kemanusian (Human Scurity) Dalam Paradigma Polri
Denzin
and Lincoln (1994 : 105) mendefinisikan paradigm sebagai :” Basic belief system
or worldview that guides the investigator, not only in choices of method but in
ontologically and ephistomologically fundamental ways.”Pengertian tersebut
mengandung makna paradigm adalah system keyakinan dasar atau cara memandang
dunia yang membimbing peneliti tidak hanya dalam memilih metoda tetapi juga
cara-cara fundamental yang bersifat ontologism dan epistomologis. Secara
Singkat, Denzin and Lincoln (1994:107) mendefinisikan “ Paradigm as Basic
Belief Systems Based on Ontological, Epistomological and Methodological
Assumptions.” Paradigma merupakan system keyakinan dasar berdasarkan asumsi
ontologism, epistomologis, dan methodology. Denzin and Lincoln (1994:107)
menyatakan : “ A paradigm may be viewed as a set of basic belief (or
metaphysics) that deals with ultimates of first principles.” Suatu paradigm
dapat dipandang sebagai sperangkat kepercayaan dasar yang bersifat pokok dan
utama.
Dalam
bukunya The Structure Of Scientific Revolution, Thomas S Kuhn menggunakan
istilah paradigm dalam dua arti yang berbeda.Disatu pihak, ia berarti
keseluruhan konstelasi kepercayaan, nilai, teknik, dan sebagainya yang dimiliki
bersama oleh anggota-anggota masyarakat tertentu. Di pihak lain, ia menunjukkan
sejenis unsure dalam konstelasi itu, pemecahan teka-teki yang konkret, yang
jika digunakan sebagai model atau contoh dapat menggantikan kaidah-kaidah yang
eksplisit sebagai dasar bagi pemecahan teka-teki sains yang normal yang masih
tertinggal. Paradigma ialah apa yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota
suatu masyarakat sains, dan sebaliknya , masyarakat sains terdiri atas
orang-orang yang memiliki paradigm bersama.Bagi Kuhn , pertumbuhan dan
perkembangan Ilmu pengetahuan terjadi melalui suatu proses revolusi, bukan
melalui akumulasi.
Kuhn
Percaya , Ilmu pengetahuan pada waktu tertentu didominasi oleh suatu paradigm
tertentu, yakni suatu pandangan mendasar tentang apa yang menjadi pokok
persoalan (subject matter) dari suatu cabang ilmu. Normal Science adalah suatu
periode akumulasi ilmu pengetahuan, dimana para ilmuwan bekerja dan
mengembangkan paradigma yang sedang berpengaruh. Namun para ilmuwan tidak dapat
mengelakkan pertentangan dengan penyimpangan-penyimpangan (anomalies), karena
ketidak mampuan paradigm lama memberikan penjelasan secara memadai terhadap
persoalan yang timbul, dan paradigm itu mulai disangsikan validitasnya. Bila
krisis sudah sedemikian seriusnya, maka suatu revolusi akan terjadi, dan
paradigm baru akan muncul sebagai yang mampu menyelesaikan persoalan yang
dihadapi paradigm sebelumnya. Dalam periode revolusi itu akan terjadi perubahan
besar dalam ilmu pengetahuan. Paradigma yang lama mulai menurun pengaruhnya,
digantikan paradigm baru yang lebih dominan (Ritzer , 1985 : 3-5).
Sehubungan
dengan pemahaman paradigma tersebut dan kita hubungkan dengan kedudukan, tugas
dan fungsi Polri dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang
dihadapkan pada kondisi perubahan peradaban tatanan masyarakat dunia yang
secara lagsung dan tidak langsung mempengaruhi juga peradaban masyarakat,
bangsa dan Negara Indonesia, maka perlunya pemikiran re-orientasi paradigm
Polri tahap berikutnya sekaligus memperkuat posisi Peran Polri dalam
pembangunan nasional di masa datang.
Jika
kalau pada era orde baru penyelenggaraan fungsi kepolisian (Polri) dilaksanakan
mengikuti paradigm militeristik sebagai bagian dari suatu system dimana Negara
menggunakan kekuasaan berupa kemampuan menciptakan kekerasan secara massif,
teratur dan memonopoli hak untuk mencipta kekerasan dalam berbagai wujudnya.
Sekaligus ini menunjukkan bagaimana Negara
yang sangat berkuasa bila dibandingkan kekuasaan yang dimiliki rakyat, yang
tidak saja berupa sarana koersif dan repressive, tetapi juga sarana ekonomi;
tidak sekadar berupa kewenangan birokratik, tetapi juga keahlian teknokratik;
tak hanya berupa korporatisme organisasi politik dan kemasyarakatan, tapi juga
ideology dan tidak saja berupa aturan berdasarkan hukum, tapi juga melalui
praktek-praktek premanisme.
Kenyataan
sedemikian itulah yang digambarkan Louis Althusser, Negara melakukan dominasi
dan penaklukan terhadap masyarakatnya tidak saja melalui kekerasan fisik (Repressive
State Aparatus) tapi juga lewat produksi dan reproduksi kuasa dalam
ruang cultural (tempat wawasan dan makna hidup dirajut dalam bermacam teks dan
wacana yang saling berkompetisi), Althusser menyebutnya , ideological state apparatus. Dimana Polri saat itu menjadi bagian dari
pelaksana kebijakan pemerintah (Sistem Negara totaliter) yang semata-mata
ditujukan kepada kekuasaan pemerintah dengan mengesampingkan hak-hak dasar
manusia sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk menjaga stabilitas keamanan
Negara .
Saat
ini yang dikatakan banyak pihak sebagai Orde Reformasi, dimana Polri secara kelembagaan
dipisahkan dari TNI (ABRI) , pada April 1999 melalui instruksi presiden
(inpres) No 2 Tahun 1999 tentang langkah-langkah kebijakan dalam rangka
pemisahan Polri dan Abri.
Kebijakan
tersebut kemudian diikuti dengan dikeluarkannya kebijakan lain berupa TAP MPR
No VI tahun 2000 tentang pemisahan Polri dan TNI, dan TAP MPR No VII tahun 2000
tentang peran Polri dan TNI. Kebijakan ini mengakhiri status Polri di bawah
komando ABRI selama orde baru.
Dengan
demikian pemisahan strukur organisasi ini aparat kepolisian diharapkan tidak
lagi tampil dalam performance dan watak yang militeristik, dan dapat bekerja
professional sebagai aparat kepolisian sipil secara professional.Kalangan
pemerhati reformasi kepolisian menggarisbawahi bahwa pemisahan (kemandirian)
Polri dari TNI bukan merupakan tujuan, tetapi sebagai langkah dimulainya
reformasi Polri. Tujuan reformasi kepolisian adalah membangun kepolisian sipil
yang professional dan akuntabel dalam melayani masyarakat sesuai dengan
norma-norma demokrasi, menghormati HAM dan hukum internasional lainnya.
Berpijak
pada semangat reformasi tersebut, perlu kiranya Polri dengan tugas pokok dan
wewenangnya perlu memikirkan strategi pemolisian masa datangnya dengan
mempertimbangkan berbagai resiko dari pembangunan nasional dan perubahan
tatanan masyarakat bagi kepentingan nasional yang berdasarkan kepada prinsip
yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945.
Polri
diharapkan tidak lagi berhenti pada pembangunan citranya semata melalui
program-program pragmatis melalui berbagai rumusan model perpolisian yang
semata-mata ditujukan bagi pembagunan kepercayaan dan kedekatan polisi dan
masyarakat, tetapi secara kelembagaan harus mampu menjadikan kepercayaan dan
kedekatan dengan masyarakat sebagai titik tolak dalam upaya peran serta Polri
dalam menyelamatkan masa depan bangsa dan eksistensi Negara Kesatuan Republik
Indonesia dalam bingkai pembangunan yang
berkelanjutan (Sustainable Development).
Salah
satu hal yang dapat dipikirkan dan dapat dijadikan landasan kebijakan Polri kedepan
adalah paradigm keamanan untuk kemanusian (human security) kedalam kebijakan
kelembagaan dan praktek-praktek pemolisian.
Paradigma
Keamanan untuk kemanusian (Human Security) untuk pertama kali
menjadi perhatian dunia ketika DR Mahbub Ul Haq mengenalkannya dalam Forum
United Development Program (UNDP) pada tahun 1994.
Dalam
penjelasannya DR mahbud Ul Haq menjelaskan soal keamanan dalam konteks
pembangunan di mana keamanan manusia menyangkut usaha mencapai kebebasan kembar
(twin
freedom), yaitu kebebasan manusia dari rasa takut sebagaimana dikenal
dalam konsep rasa aman konvensional dan kebebasan untuk dapat memenuhi
kebutuhan hidup (living condition). Dari sinilah mulai terjadi perubahan konsep
keamanan dari yang bersifat konvensional ke non-konvensional dan kini istilah
tersebut menjadi terminology pembangunan.
Menurut
Hampsom (2002) pendekatan keamanan manusia (human security) menuntut
perluasan wawasan keamanan yang meliputi multiphaset :
1.
Keamanan
ekonomi;
2.
Keamanan
Politik;
3.
Keamanan Militer;
4.
Keamanan
Polisional;
5.
Keamanan Hukum;
6.
Keamanan hak
azasi manusia;
7.
Keamanan
Pekerjaan;
8.
Kemanan
anak-anak, perempuan dan usia senja;
9.
Keamanan
cultural dan agama;
10.
Keamanan
Keluarga dan kediaman;
11.
Keamanan
Pangan;
12.
Keamanan
Kesehatan, jiwa dan bencana;
13.
Keamanan
Informasi;
14.
Keamanan
pendidikan;
15.
Keamanan
perjalanan;
16.
Dan keamanan
harta milik.
Ini
artinya kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah dalam bidang tersebut
mengandung kerawanan. (Bambang Widodo Umar, 2009)
Lebih
lanjut hampson, memprediksi bahwa tantangan keamanan manusia di masa datang
akan menyangkut masalah :
1.
Pangan, air dan
udara;
2.
Ekologi;
3.
Politik;
4.
Ekonomi;
5.
Kemiskinan
mayoritas;
6.
Hukum;
7.
Kriminalitas
Transnasional;
8.
Hak-hak milik
intelektual;
9.
Budaya Pop;
10.
Banyaknya usia
lanjut;
11.
Lapangan kerja;
12.
Bencana alam
dan buatan;
13.
Pecahnya
keluarga;
14.
Kesehatan;
15.
Pendidikan;
16.
Radikalisasi
agama;
17.
Informasi;
18.
Perang
intensitas rendah dan terorisme;
19.
Keseimbangan
bio massa.
Menyadari
betapa kompleksnya permasalahan kemanusian ke depan dan dihubungkan dengan
wewenang dan tanggung jawab Polri dalam menjalankan fungsi kepolisian dan
menjadi lembaga yang bertanggung jawab terjadap keamanan dalam negeri, timbul
pertanyaan, sudah siapkah Polri terhadap tantangan tersebut.
Searah
dengan pemikiran diatas , sesungguhnya Polri telah mencanangkan arah reformasi
dalam aspek structural, instrumental dan cultural seperti terurai di bawah ini
:
1.
Perubahan dalam
aspek structural meliputi (a) menjadi lembaga Negara non departemen (setingkat
menteri); (b) menjadi mitra kerja komisi DPR RI;(c) kepegawaian dalam manajemen
sendiri (UU No 43/1999);(d) struktur anggaran fungsi (sector sendiri);(e)
pembenahan polisi berseragam dan tidak berseragam;(f) pengembangan satuan
wilayah menjadi piramida-flat;(g) Polda sebagai kesatuan induk penuh;(h) titik
pelayanan pada pengemban diskresi (pasal 18 UU No 2 Tahun 2002).
2.
Perubahan dalam
aspek instrumental meliputi : (a) dikeluarkannya TAP MPR No 6 dan 7 Tahun
2000;(b) amandemen pasal 30 UUD 1945; (c) UU No 2 Tahun 2002;(d) PP dan
Kepres;(e) Revisi 300 Juklak dan Juknis; (f) perubahan doktrin dan pedoman
induk; (g) menyusun grand strategi (Renstra Polri 25 tahun).
3.
Perubahan dalam
aspek cultural meliputi (a) Tri Brata; (b) Tjatur Prasetya;(c) Kode Etik Polri
(pemulian profesi);(d) Filosofi pendidikan; (e) etika Staf; (f) Pedoman
perilaku Polri; (g) Lagu dan Lambang (Tradisi); (h) Meminimalkan seremonial dan
upacara; (i) pemberdayaan bintara dan tantama; (j) Makam kehormatan Polri
(pemuliaan profesi).
4.
Likuidasi
satuan Brimob dalam struktur Polri.
5.
Redefinisi Jati
diri Polri melalui demiliterisasi, depolitisasi, desakralisasi, desentralisasi,
defeodalisasi, dekorporatisi, debirokratisasi, deotorisasi (Budget).
6.
Upaya membangun
kemandirian Polri : (a) mandiri dalam system ketatanegaraan; (b) mandiri dalam
kekuatan bersenjata; (c) mandiri dalam system penyidikan pidana; (d) mandiri
dalam system otonomi daerah; (e) mandiri dalam system kepegawaian; (f) mandiri
dalam system anggaran; (g) mandiri dalam system politik. (Bambang Widodo
Umar,2009)
Dengan momen reformasi Polri dan langkan-langkah yang telah
dilakukan tersebut diatas, seyogyanya Polri mampu membaca gejala-gejala
perubahan lingkungan strategisnya sebagai titik tolak dalam menjalankan fungsi
kepolisiannya dan memperkuat peran Polri
di segala tingkatan terutamanya adalah pada tingkatan peran Polri di Tingkat
Komando Operasional Dasar dan peran Kepolisian di Tingkat Kepolisian daerah dan
Markas Besar dalam merumuskan berbagai kebijakan internal maupun eksternal
bersama-sama dengan mitra pemerintah dan masyarakat sipil sekaligus memperkuat fungsi
kepolisian yang didasarkan pada prinsip-prinsip polisi sipil dimana kebijakan dan implementasinya diorientasikan
pada consensus terbaik antara kepentingan masyarakat dan kepentingan Negara (pemerintah)
sebagai cirri dari konsep Negara integral dalam system yang demokratis.
Pendekatan keamanan kemanusian (Human security) dapat
menjadi pijakan baru dalam merumuskan kebijakan polisional kedepan mengingat
situasi Negara kesatuan republic Indonesia yang terbentang dari sabang sampai
dengan merauke dari pulau miangas ke pulau rote dengan jumlah populasi yang
besar membutuhkan suatu pendekatan pembangunan baru yang tidak saja
diorientasikan kepada kemakmuran dan kesejahteran bangsanya (dengan meningkatnya
pendapatan per capita masyarakatnya ) tetapi juga perlu dipikirkan kelestarian
bangsa Indonesia di masa yang akan datang yang didasarkan kepada ketaatan
terhadap hukum nasional,integrasi sosial yang berdasarkan sikap nasionalisme
yang sama tetapi yang terpenting adalah terjaminnya kebebasan kembar (twin
freedom) yaitu rasa aman masyarakat dari rasa takut terhadap ancaman
berupa fisik dan psikis tetapi juga rasa aman masyarakat terhadap ketersedian
kebutuhan dasar / pokok manusia untuk hidup (living condition).
Sehingga masyarakat yang merupakan menjadi bagian terpenting dari
Negara kesatuan Republic Indonesia , merasakan kemanfaatannya sebagai bagian
yang tidak terpisahkan dari kedaulatan Negara yang didasarkan kepada
nilai-nilai yang terkadung dalam Pancasila dan UUD 1945.