Entri Populer

Minggu, 05 Februari 2012

UPAYA REHABILITASI PASCA TINDAKAN KEPOLISIAN DALAM RANGKA MEMELIHARA KEPERCAYAAN MASYARAKAT


UPAYA REHABILITASI   PASCA TINDAKAN KEPOLISIAN
DALAM RANGKA MEMELIHARA KEPERCAYAAN MASYARAKAT
OLEH
AKBP ANDRY WIBOWO,SIK,MH,MSI

I.                    LATAR BELAKANG 

Polisi dalam kesehariannya selalu dihadapkan dengan berbagai tantangan situasional yang bersifat dinamis. Tantangan situasional selalu datang silih berganti tanpa mengenal waktu karena hal ini menjadi konsekuensi alamiah dari adanya kehidupan dunia yang sangat dipengaruhi oleh berbagai bentuk sifat, karakter dan kehendak  manusia sebagai pemimpin dan aktor utama di muka bumi.Sehingga dapat diistilahkan  bahwa Denyut nadinya polisi adalah denyut nadinya masyarakat.
Jika hal ini kita kaitkan dengan teori kejahatan kita mengenal rumusan kejahatan = Niat + Kesempatan (KJ=N+K), maka dalam tindakan kepolisian kita bisa merumuskannya dengan Tindakan Polisi = Karakter Kerawanan Kamtibmas Yang Merupakan Respons Polisi Berbanding Lurus Dengan Respons Masyarakat Terhadap Berbagai Situasi (TP=3K).Dengan rumusan ini maka kita dapat mengukur bahwa semakin rawan suatu kondisi kamtibmas maka semakin tinggi aktifitas kepolisian dan semakin besar sumber daya yang diperlukan.
Untuk itulah polisi diberikan kekuasaan kepolisian (Police Power) dalam bentuk wewenang kepolisian (Police Authority) sebagaimana diatur dalam Undang-undang No 2 Tahun 2002 serta Undang-undang lainnya yang memberikan wewenang kepada kepolisian untuk melakukan berbagai bentuk kegiatan dan operasi kepolisian yang manfaatnya dapat dirasakan oleh negara dan masyarakat yaitu terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat.

Dalam melaksanakan kegiatan dan operasi kepolisian  yang sifatnya operasional tersebut dapat dipastikan terjadi hubungan kasualitas antara polisi dan masyarakat. Hubungan kasualitas tersebut  selalu melibatkan Fisik yaitu kehadiran personel kepolisian, alat-alat kepolisian  , sarana dan prasarana kepolisian dan tindakan kepolisian sebagai pengenjawatahan dari apa yang disebut dengan kekuasaan dan wewenang kepolisian tadi.
Hubungan kasualitas Polisi-Masyarakat juga pada kenyataannya melibatkan Emosi, Baik Polisi maupun masyarakat. Empati, simpati, marah, jengkel adalah contoh – contoh respons emosional dari hubungan polisi-masyarakat yang dapat terjadi di kedua belah pihak.
Hubungan kasualitas tersebut dapat dilihat melalui interaksi berbagai kegiatan dan operasi kepolisian yang bersifat Intelijen, Pre-emtif, Preventive dan  Penegakkan Hukum serta kegiatan dan operasi kepolisian lainnya yang melibatkan personel kepolisian, sarana dan prasarana kepolisian , alat-alat kepolisian dan tindakan kepolisian seperti kegiatan dan operasi Search and Rescue serta Rehabilitasi pasca konflik atau bencana alam.
Dalam pelaksanaannya Hubungan kasualitas polisi dan masyarakat secara normatif selalu mengikuti alur dinamika situasi kamtibmas,penganalisaan situasi kamtibmas, pemilihan jenis kegiatan dan operasi kepolisian, penyiapan sumber daya kepolisian , mobilisasi , penggunaan dan penetrasi  sumber daya kepolisian kepada sasaran,  konsolidasi dimana terjadi tahapan evaluasi efektiftas dan efesiensi mobilisasi dan penggunaan sumber daya kepolisian serta implikasi terhadap situasi kamtibmas.
Kegiatan dan Operasi Kepolisian yang melibatkan fisik dan emosi dengan siklus normatif yang digambarkan tersebut tidak selamanya bermuara pada hubungan yang harmonis antara polisi dan masyarakat tetapi sebaliknya hubungan kasualitas polisi masyarakat tidak sedikit bermuara pada munculnya friksi dan konflik antara polisi dan masyarakat.
Friksi polisi dan masyarakat  umumnya muncul akibat dari tindakan kepolisian yang dianggap oleh masyarakat mencedarai rasa kemanusiaan mereka.Friksi tersebut dapat berwujud komplain, dendam , penyerangan terhadap simbol-simbol kepolisian bahkan personel kepolisian.
Friksi tersebut juga dapat terjadi dari tindakan masyarakat kepada polisi yang berlebihan yang mengakibatkan polisi harus melakukan upaya maksimal dalam terjaminnya keselamatan diri, kesatuan dan masyarakat.Sehingga akibatnya tidak sedikit menimbulkan korban baik dari pihak kepolisian maupun masyarakat.
Untuk itulah penulis berpendapat bahwa perlu dilakukan tindakan rehabilitasi yang bersifat segera khususnya kepada masyarakat  yang merasakan dampak dari suatu kegiatan dan operasi kepolisian untuk meredakan friksi dan mengembalikan kondisi harmoni antara polisi dan masyarakat dengan mengesampingkan ego kelembagaan dan mengedepankan prinsip dan penghargaan terhadap kemanusiaan.   
Dalam banyak kasus friksi antara masyarakat dan polisi dibiarkan berlarut larut tanpa suatu upaya yang serius untuk menyelesaikan friksi-friksi tersebut. Akibatnya kebencian yang telah ada akan meletus setiap saat menjadi konflik polisi dan masyarakat jika ada faktor pemicunya karena friksi tersebut tidak pernah dikelola dan dicari jalan keluar yang terbaik.
Friksi tersebut dapat berupa pribadi maupun kolektif sebagai akibat dari tindakan atau operasi kepolisian yang menimbulkan kerugian jiwa atau mataeriil yang  tidak diinginkan misalnya adanya korban jiwa atau korban materiil sebagai akibat tindakan penanganan rusuh massal, penangkapan pelaku kejahatan,penyidikan, dan bentuk bentuk tindakan kepolisian lainnya.
 Friksi tidak harus akibat kesalahan kepolisian, tetapi apapun bentuk hubungan polisi-masyarakat  yang berakibat adanya  korban jiwa baik meninggal dunia maupun luka – luka  dan atau  kerugian materiil yang tidak diinginkan oleh masyarakat maupun kepolisian perlu dilakukan tindakan rehabilitasi sebagai tindak lanjut dari akuntabilitas publik.
Karena pada prinsipnya secara universal salah satu prinsip moral dalam kegiatan atau operasi kepolisian adalah “Love Humanity-Help Deliquency”, sehingga dalam konteks penggunaan kekerasan kepolisian kepada masyarakat, masyarakat tidak ditempatkan sebagai musuh yang harus ditumpas, melainkan harus ditangani berdasarkan prinsip kemanusiaan yang tinggi.


II.                  APA ITU UPAYA REHABILITASI 

Rehabilitasi atau pemulihan merupakan suatu istilah yang telah dikenal dalam masyarakat luas. Dalam dunia medis misalnya kita mengenal dengan istilah rehabilitasi medis yang umumnya diperuntukkan bagi pasien-pasien yang memerlukan langkah-langkah rehabilitasi sebagai bagian dari upaya penyembuhan suatu penyakit yang diderita oleh pasien.
Dalam dunia pertanian juga ada istilah rehabilitasi tanah kritis yaitu pemulihan suatu kondisi lahan yang tidak dapat dimanfaatkan lagi secara optimal karena mengalami proses kerusakan fisik, kimia, maupun biologi yang akhirnya dapat membahayakan fungsi hidrologi, orologi, produksi pertanian, pemukiman dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat (Djunaedi, 1997).
Demikian pula dalam dunia hukum upaya-upaya yang bersifat rehabilitasi ini sudah ada dan diatur dalam Hukum Acara Pidana Kita yaitu suatu tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mengembalikan hak seseorang yang telah hilang karena suatu keputusan hakim yang ternyata dalam waktu berikutnya terbukti bahwa kesalahan yang telah dilakukan seseorang tersangka tidak seberapa dibandingkan dengan perkiraan semula atau bahkan ia ternyata tidak bersalah sama sekali, dalam hal ini fokus rehabilitasi ini terletak pada nilai kehormatan yang diperoleh kembali dan hal ini tidak tergantung kepada undang-undang tetapi pada pandangan masyarakat sekitar.
Maka dari definisi operasional diatas dapat diambil simpul pemahaman rehabilitasi yaitu suatu upaya atau tindakan yang dilakukan oleh otoritas profesional dalam rangka pemulihan suatu kondisi yang sakit kepada kondisi yang relatif sehat untuk berbagai kepentingan yang diinginkan.
Dalam konstruksi hubungan polisi dengan masyarakat dalam sistem demokrasi, keterbukaan informasi dan kesadaran akan Hak Azasi Manusia , potensi terjadinya kondisi kritis yang berujung pada konflik polisi dengan masyarakat sangat tinggi mengingat spektrum kehadiran polisi di tengah – tengah masyarakat yang kompleks serta bersifat intensif.
Kasus Bima dan Mesuji merupakan contoh dimana kehadiran polisi yang awalnya dalam rangka melayani kepentingan masyarakat berujung pada konflik polisi dengan masyarakat.
Demikian pula pada kasus-kasus penangan kejahatan dan penegakkan hukum lainnya yang dilakukan oleh polisi tidak sedikit yang berujung pada konflik polisi dan masyarakat.
Dalam perspektif masyarakat, konflik terjadi akibat dari adanya tindakan kepolisian yang dirasakan merugikan kepentingan ekonomi, sosial,maupun kehormatan mereka.
Sedangkan dalam perspektif negara , konflik terjadi akibat dari adanya upaya kekuasan dan wewenanang kepolisian yang harus dilakukan yang berdasarkan ketentuan per undang-undangan untuk mengembalikan kondisi tidak tertib menjadi tertib untuk kepentingan umum.
Dalam konteks ini tentunya kebenaran atas penilaian situasi konflik bersifat tematik atau kasuistis, polisi dapat benar demikian pula masyarakat, namun demikian di luar kebenaran hukum dalam suatu proses penegakkan hukum, perlu dipikirkan adalah upaya kepolisian dalam meredakan konflik polisi dengan masyarakat melalui upaya-upaya pemulihan situasi krisis dalam hubungan polisi masyarakat  sebagai akibat dari tindakan kepolisian yang dilakukan terhadap masyarakat.
Sebagai contoh ketegangan masyarakat Bima dan Polisi tidak dapat dibiarkan berlarut larut, karena hal ini akan berdampak pada terganggunya pelayanan umum kepolisian pada masyarakat tersebut. Dalam perspektif ideologi negara, masyarakat yang merasa cedera akibat tindakan kepolisian seyogyanya harus disembuhkan agar mereka tidak membenci negara cq kepolisian yang hal ini dapat dimanfaatkan oleh pihak ke III untuk kepentingan kepentingan yang akhirnya merugikan kepentingan umum dan negara secara keseluruhan dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Dalam banyak contoh konflik polisi dengan masyarakat yang tidak ditangani secara baik memunculkan stigma buruk terhadap polisi dan ini merugikan kepolisian sendiri dalam membangun kepercayaan masyarakat.


Tindakan pemeriksaan kepada petugas kepolisian yang bertanggung jawab dirasakan belum cukup memenuhi harapan masyarakat , karena dalam banyak kasus penghukuman terhadap anggota yang bersalah masih meninggalkan luka dan kenangan jelek terhadap kepolisian yang akhirnya terakumulasi pada perasaan benci dan stigmasasi (labelling) buruk kepada polisi secara kelembagaan.

III.                Tindakan Kepolisian Yang Dapat Menimbulkan Friksi Polisi-Masyarakat.

Kompleksitas persoalan dan Intensitas yang relatf tinggi dalam Pola hubungan polisi dengan masyarakat sehari hari berpotensi melahirkan situasi yang harmoni maupun konflik diantara polisi dengan masyarakat.
Situasi harmoni umumnya lahir dari berbagai tindakan polisi yang mampu memenuhi harapan masyarakat secara umum seperti mampu menjalankan Standar Perilaku (Code of Conduct) polisi dalam penegakkan hukum sebagaimana diatur pada pasal 10 Perkap No 08 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Azazasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri sebagai berikut :
1.      Senantiasa menjalankan tugas yang diamanatkan oleh Undang-undang kepada mereka;
2.      Menghormati dan melindungi martabat manusia dalam melaksanakan tugasnya;
3.      Tidak boleh menggunakan kekerasan, kecuali dibutuhkan untuk mencegah kejahatan membantu melakukan penangkapan terhadap pelanggaran hukum atau tersangka sesuai dengan peraturan penggunaan kekerasan;
4.      Hal-hal yang bersifat rahasia yang berada dalam kewenangan harus tetap dijaga kerahasiannya , kecuali jika diperlukan dalam pelaksanaan tugas atau untuk kepentingan peradilan;
5.      Tidak boleh menghasut , metolelir tindakan penyiksaan , perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia, demikian pula menjadikan perintah atasan atau keadaan luar biasa seperti ketika dalam keadaan perang sebagai pembenaran untuk melakukan penyiksaan;
6.      Menjamin perlindungan sepenuhnya terhadap kesehatan orang-orang yang berada dalam tahannya, lebih khusus lagi , harus segera mengambil langkah untuk memberikan pelayanan medis bilamana diperlukan;
7.      Tidak boleh melakukan korupsi dalam bentuk apapun, maupun penyalahgunaan kekuasaan lainnya yang bertentangan dengan profesi penegak hukum;
8.      Harus menghormati hukum, ketentuan berperilakum dan kode etik yang ada.
Sebaliknya situasi konflik dapat terjadi manakala dirasakan oleh masyarakat tindakan kepolisian tidak memenuhi kondisi yang dipersyarakatkan dalam code of conduct diatas.
Dalam sistem demokrasi, keterbukaan informasi dan kesadaran atas Hak azasi Manusia saat ini, potensi konflik polisi dengan masyarakat relatif besar mengingat negara tidak lagi pada posisi absolute dalam hubungannya dengan masyarakat.Masyarakat tidak lagi otomatis tunduk dan taat pada kekuasaan negara.
 Masyarakat juga tidak menjadikan kekuasaan formal negara sebagai satu-satunya kekuasaan yang harus diikuti, tetapi masyarakat saat ini sangat dipengaruhi oleh berbagai nilai dan kekuasaan informal yang pada kenyataannya tidak selalu sejalan dengan nilai dan kepentingan kekuasaan negara bahkan di masyarakat sendiripun terjadi benturan antar nilai yang memungkinkan polisi menggunakan kekuasaan dan wewenangnya untuk mengintervensi kehidupan masyarakat sehingga harmoni sosial tetap dapat dijaga.
Dalam hal ini friksi dan konflik polisi-masyarakat akan berpeluang terjadi karena tindakan-tindakan kepolisian yang dilakukan kepada masyarakat.



  
IV.              Beberapa Contoh Tindakan Rehabilitasi Dalam Memperbaiki Hubungan Polisi-Masyarakat

Dalam rangka mengurangi kekecewaan , ketegangan, gesekan dan konflik polisi-masyarakat yang diakibatkan oleh tindakan kepolisian serta membangun kembali hubungan baik polisi-masyarakat, ada beberapa langkah yang dapat direkomendasikan untuk dilakukan pasca tindakan kepolisian tersebut.
A.      Meminta maaf.
Meminta maaf atas segala tindakan kepolisian yang menimbulkan korban dan kerugian materiil pada masyarakat adalah tindakan awal yang dapat dilakukan. Meminta maaf dapat disampaikan kepada masyarakat khususnya mereka yang mendapat dampak langsung dari tindakan kepolisian tersebut.
B.      Mengobati dan merawat jenazah serta memberikan santunan sosial-ekonomi
Mengobati kepada mereka yang luka-luka akibat tindakan kepolisian harus dilakukan oleh negara atau kepolisian kepada masyarakat yang mengalami luka-luka akibat tindakan kepolisian.
Sedangkan bagi masyarakat yang meninggal dunia maka negara atau kepolisian wajib merawat jenazah tersebut secara layak dan manusiawi.
Sedangkan Bagi keluarga korban perlu dipikirkan pada masa datang santunan sosial-ekonomi kepada keluarganya atau ahli warisnya.
C.      Memperbaiki Benda Yang Rusak.
Meskipun belum diatur secara jelas dalam Undang-undang maka kewajiban negara atau kepolisian memperbaiki setiap benda yang rusak akibat dari tindakan kepolisian bahkan jika kerusakan benda tersebut parah maka perlu dilakukan pergantian atas benda-benda tersebut.
D.     Mengembalikan Nama baik dan Kehormatan
Sebagaimana telah diatur dalam KUHAP , Maka Negara atau kepolisian wajib mengembalikan nama baik seseorang yang diduga melakukan kejahatan baik  untuk kepentingan pribadi atau keluarganya manakala hukum atau undang-undang menyatakan seeorang tersebut secara hukum dinyatakan tidak bersalah.
E.      Mengembalikan Uang Atau Benda Lainnya (dalam kasus pemerasan atau penggelapan)
Negara atau pihak kepolisian wajib mengembalikan benda atau uang kepada para korban pemerasan yang dilakukan oleh oknum polisi, termasuk penggelapan barang atau uang milik masyarakat yang diambil oleh polisi secara tidak sah. Sehingga dalam kasus seperti ini tidak cukup anggota tersebut dihukum tetapi juga ada kewajiban untuk mengembalikan uang atau benda yang merupakan hasil kejahatannya.
F.       Memperbaiki situasi TKP pasca olah TKP
Sering kali untuk keperluan penegakkan hukum polisi melakukan olah TKP.Untuk keperluan Olah TKP maka polisi diperbolehkan oleh hukum untuk melakukan tindakan pengeledahan dan pemeriksaan terhadap barang maupun orang.Tetapi yang perlu dilakukan dimasa datang adalah polisi wajib merapihkan tempat olah TKP seperti sedia kala ketika polisi datang untuk melakukan olah TKP.

V.                  Penutup

Denyut nadi polisi adalah denyut nadi masyarakat yang melahirkan hubungan kasualitas polisi-masyarakat yang kompleks dan intensif. Jika kejahatan lahir karena adanya niat dan kesempatan , maka polisi hadir karena adanya karakter kerawanan kamtibmas yang lahir dari respons masyarakat terhadap berbagai situasi.
Dalam sistem demokrasi, keterbukaan informasi dan kesadaran atas Hak azasi Manusia saat ini dimana negara tidak lagi menjadi aktor utama yang mempengaruhi cara hidup dan pandangan masyarakat, maka kompleksitas persoalan sosial akan semakin meningkat akibat adanya perbedaan nilai di masyarakat yang terkadang tidak sejalan dengan nilai-nilai dan kepentingan kekuasaan negara bahkan antar masyarakat itu sendiri.
Situasi ini memungkinkan polisi melakukan berbagai bentuk intervensi dalam kehidupan masyarakat yang tidak selalu melahirkan hubungan yang harmoni tetapi juga konflik antara polisi dan masyarakat.



Untuk mengurangi dampak konflik dan mengembalikan situasi harmoni polisi – masyarakat di masa datang perlu dipikirkan langkah-langkah rehabilitasi terhadap masyarakat yang secara langsung dan tidak langsung mengalami kerugian akibat tindakan kepolisian.
Tindakan rehabilitasi dapat berupa pernyataan sikap yang bersifat moral sampai dengan tindakan-tindakan rehabilitasi yang bersifat sosial ekonomi kepada masyarakat.
Tindakan rehabilitasi ini menjadi sangat penting selain upaya penegakkan profesionalisme kepolisian sebagai upaya internal dengan tujuan mampu mengobati berbagai kerugian masyarakat sebagai akibat tindakan kepolisian sekaligus mencegah stigmasasi (labelling) buruk terhadap lembaga ini dan merupakan konsekuensi logis kedudukan Polri sebagai bagian dari kekuasaan negara yang memiliki kewajiban melindungi, melayani dan mengayomi masyarakatnya dengan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan hak azasi manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar