UPAYA REHABILITASI PASCA TINDAKAN KEPOLISIAN
DALAM RANGKA MEMELIHARA KEPERCAYAAN
MASYARAKAT
OLEH
AKBP ANDRY WIBOWO,SIK,MH,MSI
I.
LATAR BELAKANG
Polisi dalam kesehariannya selalu
dihadapkan dengan berbagai tantangan situasional yang bersifat dinamis. Tantangan
situasional selalu datang silih berganti tanpa mengenal waktu karena hal ini
menjadi konsekuensi alamiah dari adanya kehidupan dunia yang sangat dipengaruhi
oleh berbagai bentuk sifat, karakter dan kehendak manusia sebagai pemimpin dan aktor utama di
muka bumi.Sehingga dapat diistilahkan
bahwa Denyut nadinya polisi adalah denyut nadinya masyarakat.
Jika hal ini kita kaitkan dengan teori
kejahatan kita mengenal rumusan kejahatan = Niat + Kesempatan (KJ=N+K), maka
dalam tindakan kepolisian kita bisa merumuskannya dengan Tindakan Polisi = Karakter
Kerawanan Kamtibmas Yang Merupakan Respons Polisi Berbanding Lurus Dengan Respons
Masyarakat Terhadap Berbagai Situasi (TP=3K).Dengan rumusan ini maka kita dapat
mengukur bahwa semakin rawan suatu kondisi kamtibmas maka semakin tinggi
aktifitas kepolisian dan semakin besar sumber daya yang diperlukan.
Untuk itulah polisi diberikan
kekuasaan kepolisian (Police Power) dalam bentuk wewenang kepolisian (Police
Authority) sebagaimana diatur dalam Undang-undang No 2 Tahun 2002 serta
Undang-undang lainnya yang memberikan wewenang kepada kepolisian untuk melakukan
berbagai bentuk kegiatan dan operasi kepolisian yang manfaatnya dapat dirasakan
oleh negara dan masyarakat yaitu terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat.
Dalam melaksanakan kegiatan dan
operasi kepolisian yang sifatnya
operasional tersebut dapat dipastikan terjadi hubungan kasualitas antara polisi
dan masyarakat. Hubungan kasualitas tersebut selalu melibatkan Fisik yaitu kehadiran
personel kepolisian, alat-alat kepolisian , sarana dan prasarana kepolisian dan tindakan
kepolisian sebagai pengenjawatahan dari apa yang disebut dengan kekuasaan dan
wewenang kepolisian tadi.
Hubungan kasualitas Polisi-Masyarakat
juga pada kenyataannya melibatkan Emosi, Baik Polisi maupun masyarakat. Empati,
simpati, marah, jengkel adalah contoh – contoh respons emosional dari hubungan
polisi-masyarakat yang dapat terjadi di kedua belah pihak.
Hubungan kasualitas tersebut dapat
dilihat melalui interaksi berbagai kegiatan dan operasi kepolisian yang
bersifat Intelijen, Pre-emtif, Preventive dan
Penegakkan Hukum serta kegiatan dan operasi kepolisian lainnya yang
melibatkan personel kepolisian, sarana dan prasarana kepolisian , alat-alat
kepolisian dan tindakan kepolisian seperti kegiatan dan operasi Search and
Rescue serta Rehabilitasi pasca konflik atau bencana alam.
Dalam pelaksanaannya Hubungan
kasualitas polisi dan masyarakat secara normatif selalu mengikuti alur dinamika
situasi kamtibmas,penganalisaan situasi kamtibmas, pemilihan jenis kegiatan dan
operasi kepolisian, penyiapan sumber daya kepolisian , mobilisasi , penggunaan
dan penetrasi sumber daya kepolisian
kepada sasaran, konsolidasi dimana
terjadi tahapan evaluasi efektiftas dan efesiensi mobilisasi dan penggunaan
sumber daya kepolisian serta implikasi terhadap situasi kamtibmas.
Kegiatan dan Operasi Kepolisian yang
melibatkan fisik dan emosi dengan siklus normatif yang digambarkan tersebut
tidak selamanya bermuara pada hubungan yang harmonis antara polisi dan
masyarakat tetapi sebaliknya hubungan kasualitas polisi masyarakat tidak
sedikit bermuara pada munculnya friksi dan konflik antara polisi dan
masyarakat.
Friksi polisi dan masyarakat umumnya muncul akibat dari tindakan
kepolisian yang dianggap oleh masyarakat mencedarai rasa kemanusiaan
mereka.Friksi tersebut dapat berwujud komplain, dendam , penyerangan terhadap
simbol-simbol kepolisian bahkan personel kepolisian.
Friksi tersebut juga dapat terjadi dari
tindakan masyarakat kepada polisi yang berlebihan yang mengakibatkan polisi
harus melakukan upaya maksimal dalam terjaminnya keselamatan diri, kesatuan dan
masyarakat.Sehingga akibatnya tidak sedikit menimbulkan korban baik dari pihak
kepolisian maupun masyarakat.
Untuk itulah penulis berpendapat bahwa
perlu dilakukan tindakan rehabilitasi yang bersifat segera khususnya kepada
masyarakat yang merasakan dampak dari
suatu kegiatan dan operasi kepolisian untuk meredakan friksi dan mengembalikan
kondisi harmoni antara polisi dan masyarakat dengan mengesampingkan ego
kelembagaan dan mengedepankan prinsip dan penghargaan terhadap kemanusiaan.
Dalam banyak kasus friksi antara
masyarakat dan polisi dibiarkan berlarut larut tanpa suatu upaya yang serius
untuk menyelesaikan friksi-friksi tersebut. Akibatnya kebencian yang telah ada
akan meletus setiap saat menjadi konflik polisi dan masyarakat jika ada faktor
pemicunya karena friksi tersebut tidak pernah dikelola dan dicari jalan keluar
yang terbaik.
Friksi tersebut dapat berupa pribadi
maupun kolektif sebagai akibat dari tindakan atau operasi kepolisian yang
menimbulkan kerugian jiwa atau mataeriil yang tidak diinginkan misalnya adanya korban jiwa
atau korban materiil sebagai akibat tindakan penanganan rusuh massal,
penangkapan pelaku kejahatan,penyidikan, dan bentuk bentuk tindakan kepolisian
lainnya.
Friksi tidak harus akibat kesalahan
kepolisian, tetapi apapun bentuk hubungan polisi-masyarakat yang berakibat adanya korban jiwa baik meninggal dunia maupun luka –
luka dan atau kerugian materiil yang tidak diinginkan oleh
masyarakat maupun kepolisian perlu dilakukan tindakan rehabilitasi sebagai
tindak lanjut dari akuntabilitas publik.
Karena pada prinsipnya secara
universal salah satu prinsip moral dalam kegiatan atau operasi kepolisian
adalah “Love Humanity-Help Deliquency”, sehingga dalam konteks penggunaan
kekerasan kepolisian kepada masyarakat, masyarakat tidak ditempatkan sebagai
musuh yang harus ditumpas, melainkan harus ditangani berdasarkan prinsip
kemanusiaan yang tinggi.
II.
APA ITU UPAYA REHABILITASI
Rehabilitasi atau pemulihan merupakan
suatu istilah yang telah dikenal dalam masyarakat luas. Dalam dunia medis
misalnya kita mengenal dengan istilah rehabilitasi medis yang umumnya
diperuntukkan bagi pasien-pasien yang memerlukan langkah-langkah rehabilitasi
sebagai bagian dari upaya penyembuhan suatu penyakit yang diderita oleh pasien.
Dalam dunia pertanian juga ada istilah
rehabilitasi tanah kritis yaitu pemulihan suatu kondisi lahan yang tidak dapat
dimanfaatkan lagi secara optimal karena mengalami proses kerusakan fisik,
kimia, maupun biologi yang akhirnya dapat membahayakan fungsi hidrologi,
orologi, produksi pertanian, pemukiman dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat
(Djunaedi, 1997).
Demikian pula dalam dunia hukum
upaya-upaya yang bersifat rehabilitasi ini sudah ada dan diatur dalam Hukum
Acara Pidana Kita yaitu suatu tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam
rangka mengembalikan hak seseorang yang telah hilang karena suatu keputusan
hakim yang ternyata dalam waktu berikutnya terbukti bahwa kesalahan yang telah
dilakukan seseorang tersangka tidak seberapa dibandingkan dengan perkiraan
semula atau bahkan ia ternyata tidak bersalah sama sekali, dalam hal ini fokus
rehabilitasi ini terletak pada nilai kehormatan yang diperoleh kembali dan hal
ini tidak tergantung kepada undang-undang tetapi pada pandangan masyarakat
sekitar.
Maka dari definisi operasional diatas
dapat diambil simpul pemahaman rehabilitasi yaitu suatu upaya atau tindakan
yang dilakukan oleh otoritas profesional dalam rangka pemulihan suatu kondisi
yang sakit kepada kondisi yang relatif sehat untuk berbagai kepentingan yang
diinginkan.
Dalam konstruksi hubungan polisi
dengan masyarakat dalam sistem demokrasi, keterbukaan informasi dan kesadaran
akan Hak Azasi Manusia , potensi terjadinya kondisi kritis yang berujung pada
konflik polisi dengan masyarakat sangat tinggi mengingat spektrum kehadiran
polisi di tengah – tengah masyarakat yang kompleks serta bersifat intensif.
Kasus Bima dan Mesuji merupakan contoh
dimana kehadiran polisi yang awalnya dalam rangka melayani kepentingan
masyarakat berujung pada konflik polisi dengan masyarakat.
Demikian pula pada kasus-kasus
penangan kejahatan dan penegakkan hukum lainnya yang dilakukan oleh polisi
tidak sedikit yang berujung pada konflik polisi dan masyarakat.
Dalam perspektif masyarakat, konflik
terjadi akibat dari adanya tindakan kepolisian yang dirasakan merugikan
kepentingan ekonomi, sosial,maupun kehormatan mereka.
Sedangkan dalam perspektif negara ,
konflik terjadi akibat dari adanya upaya kekuasan dan wewenanang kepolisian
yang harus dilakukan yang berdasarkan ketentuan per undang-undangan untuk
mengembalikan kondisi tidak tertib menjadi tertib untuk kepentingan umum.
Dalam konteks ini tentunya kebenaran
atas penilaian situasi konflik bersifat tematik atau kasuistis, polisi dapat
benar demikian pula masyarakat, namun demikian di luar kebenaran hukum dalam
suatu proses penegakkan hukum, perlu dipikirkan adalah upaya kepolisian dalam
meredakan konflik polisi dengan masyarakat melalui upaya-upaya pemulihan
situasi krisis dalam hubungan polisi masyarakat sebagai akibat dari tindakan kepolisian yang
dilakukan terhadap masyarakat.
Sebagai contoh ketegangan masyarakat
Bima dan Polisi tidak dapat dibiarkan berlarut larut, karena hal ini akan
berdampak pada terganggunya pelayanan umum kepolisian pada masyarakat tersebut.
Dalam perspektif ideologi negara, masyarakat yang merasa cedera akibat tindakan
kepolisian seyogyanya harus disembuhkan agar mereka tidak membenci negara cq
kepolisian yang hal ini dapat dimanfaatkan oleh pihak ke III untuk kepentingan
kepentingan yang akhirnya merugikan kepentingan umum dan negara secara
keseluruhan dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Dalam banyak contoh konflik polisi
dengan masyarakat yang tidak ditangani secara baik memunculkan stigma buruk
terhadap polisi dan ini merugikan kepolisian sendiri dalam membangun
kepercayaan masyarakat.
Tindakan pemeriksaan kepada petugas kepolisian
yang bertanggung jawab dirasakan belum cukup memenuhi harapan masyarakat ,
karena dalam banyak kasus penghukuman terhadap anggota yang bersalah masih
meninggalkan luka dan kenangan jelek terhadap kepolisian yang akhirnya
terakumulasi pada perasaan benci dan stigmasasi (labelling) buruk kepada polisi
secara kelembagaan.
III.
Tindakan Kepolisian Yang Dapat Menimbulkan Friksi
Polisi-Masyarakat.
Kompleksitas persoalan dan Intensitas
yang relatf tinggi dalam Pola hubungan polisi dengan masyarakat sehari hari
berpotensi melahirkan situasi yang harmoni maupun konflik diantara polisi
dengan masyarakat.
Situasi harmoni umumnya lahir dari
berbagai tindakan polisi yang mampu memenuhi harapan masyarakat secara umum
seperti mampu menjalankan Standar Perilaku (Code of Conduct) polisi dalam
penegakkan hukum sebagaimana diatur pada pasal 10 Perkap No 08 Tahun 2009
Tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Azazasi Manusia Dalam
Penyelenggaraan Tugas Polri sebagai berikut :
1. Senantiasa menjalankan tugas yang
diamanatkan oleh Undang-undang kepada mereka;
2. Menghormati dan melindungi martabat
manusia dalam melaksanakan tugasnya;
3. Tidak boleh menggunakan kekerasan, kecuali
dibutuhkan untuk mencegah kejahatan membantu melakukan penangkapan terhadap
pelanggaran hukum atau tersangka sesuai dengan peraturan penggunaan kekerasan;
4. Hal-hal yang bersifat rahasia yang
berada dalam kewenangan harus tetap dijaga kerahasiannya , kecuali jika
diperlukan dalam pelaksanaan tugas atau untuk kepentingan peradilan;
5. Tidak boleh menghasut , metolelir
tindakan penyiksaan , perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi
atau merendahkan martabat manusia, demikian pula menjadikan perintah atasan
atau keadaan luar biasa seperti ketika dalam keadaan perang sebagai pembenaran
untuk melakukan penyiksaan;
6. Menjamin perlindungan sepenuhnya
terhadap kesehatan orang-orang yang berada dalam tahannya, lebih khusus lagi ,
harus segera mengambil langkah untuk memberikan pelayanan medis bilamana
diperlukan;
7. Tidak boleh melakukan korupsi dalam
bentuk apapun, maupun penyalahgunaan kekuasaan lainnya yang bertentangan dengan
profesi penegak hukum;
8. Harus menghormati hukum, ketentuan
berperilakum dan kode etik yang ada.
Sebaliknya situasi konflik dapat
terjadi manakala dirasakan oleh masyarakat tindakan kepolisian tidak memenuhi
kondisi yang dipersyarakatkan dalam code of conduct diatas.
Dalam sistem demokrasi, keterbukaan
informasi dan kesadaran atas Hak azasi Manusia saat ini, potensi konflik polisi
dengan masyarakat relatif besar mengingat negara tidak lagi pada posisi
absolute dalam hubungannya dengan masyarakat.Masyarakat tidak lagi otomatis
tunduk dan taat pada kekuasaan negara.
Masyarakat juga tidak menjadikan kekuasaan
formal negara sebagai satu-satunya kekuasaan yang harus diikuti, tetapi
masyarakat saat ini sangat dipengaruhi oleh berbagai nilai dan kekuasaan
informal yang pada kenyataannya tidak selalu sejalan dengan nilai dan
kepentingan kekuasaan negara bahkan di masyarakat sendiripun terjadi benturan
antar nilai yang memungkinkan polisi menggunakan kekuasaan dan wewenangnya
untuk mengintervensi kehidupan masyarakat sehingga harmoni sosial tetap dapat
dijaga.
Dalam hal ini friksi dan konflik polisi-masyarakat
akan berpeluang terjadi karena tindakan-tindakan kepolisian yang dilakukan
kepada masyarakat.
IV.
Beberapa Contoh Tindakan Rehabilitasi Dalam Memperbaiki
Hubungan Polisi-Masyarakat
Dalam rangka mengurangi kekecewaan ,
ketegangan, gesekan dan konflik polisi-masyarakat yang diakibatkan oleh
tindakan kepolisian serta membangun kembali hubungan baik polisi-masyarakat,
ada beberapa langkah yang dapat direkomendasikan untuk dilakukan pasca tindakan
kepolisian tersebut.
A. Meminta maaf.
Meminta maaf atas segala tindakan
kepolisian yang menimbulkan korban dan kerugian materiil pada masyarakat adalah
tindakan awal yang dapat dilakukan. Meminta maaf dapat disampaikan kepada
masyarakat khususnya mereka yang mendapat dampak langsung dari tindakan kepolisian
tersebut.
B. Mengobati dan merawat jenazah serta
memberikan santunan sosial-ekonomi
Mengobati kepada mereka yang luka-luka
akibat tindakan kepolisian harus dilakukan oleh negara atau kepolisian kepada
masyarakat yang mengalami luka-luka akibat tindakan kepolisian.
Sedangkan bagi masyarakat yang
meninggal dunia maka negara atau kepolisian wajib merawat jenazah tersebut
secara layak dan manusiawi.
Sedangkan Bagi keluarga korban perlu
dipikirkan pada masa datang santunan sosial-ekonomi kepada keluarganya atau
ahli warisnya.
C. Memperbaiki Benda Yang Rusak.
Meskipun belum diatur secara jelas
dalam Undang-undang maka kewajiban negara atau kepolisian memperbaiki setiap
benda yang rusak akibat dari tindakan kepolisian bahkan jika kerusakan benda
tersebut parah maka perlu dilakukan pergantian atas benda-benda tersebut.
D. Mengembalikan Nama baik dan Kehormatan
Sebagaimana telah diatur dalam KUHAP ,
Maka Negara atau kepolisian wajib mengembalikan nama baik seseorang yang diduga
melakukan kejahatan baik untuk
kepentingan pribadi atau keluarganya manakala hukum atau undang-undang
menyatakan seeorang tersebut secara hukum dinyatakan tidak bersalah.
E. Mengembalikan Uang Atau Benda Lainnya
(dalam kasus pemerasan atau penggelapan)
Negara atau pihak kepolisian wajib
mengembalikan benda atau uang kepada para korban pemerasan yang dilakukan oleh
oknum polisi, termasuk penggelapan barang atau uang milik masyarakat yang
diambil oleh polisi secara tidak sah. Sehingga dalam kasus seperti ini tidak
cukup anggota tersebut dihukum tetapi juga ada kewajiban untuk mengembalikan
uang atau benda yang merupakan hasil kejahatannya.
F. Memperbaiki situasi TKP pasca olah TKP
Sering kali untuk keperluan penegakkan
hukum polisi melakukan olah TKP.Untuk keperluan Olah TKP maka polisi
diperbolehkan oleh hukum untuk melakukan tindakan pengeledahan dan pemeriksaan
terhadap barang maupun orang.Tetapi yang perlu dilakukan dimasa datang adalah
polisi wajib merapihkan tempat olah TKP seperti sedia kala ketika polisi datang
untuk melakukan olah TKP.
V.
Penutup
Denyut nadi polisi adalah denyut nadi
masyarakat yang melahirkan hubungan kasualitas polisi-masyarakat yang kompleks
dan intensif. Jika kejahatan lahir karena adanya niat dan kesempatan , maka
polisi hadir karena adanya karakter kerawanan kamtibmas yang lahir dari respons
masyarakat terhadap berbagai situasi.
Dalam sistem demokrasi, keterbukaan
informasi dan kesadaran atas Hak azasi Manusia saat ini dimana negara tidak
lagi menjadi aktor utama yang mempengaruhi cara hidup dan pandangan masyarakat,
maka kompleksitas persoalan sosial akan semakin meningkat akibat adanya
perbedaan nilai di masyarakat yang terkadang tidak sejalan dengan nilai-nilai
dan kepentingan kekuasaan negara bahkan antar masyarakat itu sendiri.
Situasi ini memungkinkan polisi
melakukan berbagai bentuk intervensi dalam kehidupan masyarakat yang tidak
selalu melahirkan hubungan yang harmoni tetapi juga konflik antara polisi dan
masyarakat.
Untuk mengurangi dampak konflik dan
mengembalikan situasi harmoni polisi – masyarakat di masa datang perlu
dipikirkan langkah-langkah rehabilitasi terhadap masyarakat yang secara
langsung dan tidak langsung mengalami kerugian akibat tindakan kepolisian.
Tindakan rehabilitasi dapat berupa
pernyataan sikap yang bersifat moral sampai dengan tindakan-tindakan rehabilitasi
yang bersifat sosial ekonomi kepada masyarakat.
Tindakan rehabilitasi ini menjadi
sangat penting selain upaya penegakkan profesionalisme kepolisian sebagai upaya
internal dengan tujuan mampu mengobati berbagai kerugian masyarakat sebagai
akibat tindakan kepolisian sekaligus mencegah stigmasasi (labelling) buruk
terhadap lembaga ini dan merupakan konsekuensi logis kedudukan Polri sebagai
bagian dari kekuasaan negara yang memiliki kewajiban melindungi, melayani dan
mengayomi masyarakatnya dengan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan hak
azasi manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar